Munir Memorial Lecture: HAM Demi Keberadaan Bersama

Depok, Kompas – Penegakan hak asasi manusia atau HAM semata-mata bukan demi hak, apalagi soal kewajiban pemerintah. HAM dan kewajiban pemerintah melindunginya, yang dikelola melalui beragam hukum dan peraturan internasional, karena keduanya menyangkut kemungkinan hidup bersama dengan cara beradab.

Oleh sebab itu, alangkah kurus perjuangan HAM yang selesai hanya pada tingkat tuntutan hukum. ”Sudah sejak abad pertengahan, ketika mempelajari kembali karya Aristoteles melalui pemikir Muslim, Thomas Aquinas, sampai pada kesimpulan, tujuan hukum pada akhirnya adalah kebaikan bersama,” kata dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Karlina Supelli, dalam Munir Memorial Lecture, Jumat (5/9).

Dalam acara bertajuk ”Membangun Peradaban dengan Politik HAM” itu, Karlina menegaskan, setiap upaya yang menciutkan masalah pelanggaran HAM hanya ke perkara pelanggaran hukum oleh individu sama dengan upaya membusukkan keberadaban kehidupan bersama. Sebab, penyelesaian pelanggaran HAM bukan hanya bertujuan meminta tanggung jawab pelaku.

”Jantung penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah mengenali kepentingan dan konteks politik, motif, dan perspektif yang melahirkan pelanggaran, pihak yang melakukan, yang berwenang memberi perintah, dan institusi yang secara sembunyi terlibat,” kata Karlina di depan sekitar 800 hadirin yang memadati auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat.

Hadir dalam acara itu, antara lain, guru besar STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno, budayawan Mohammad Sobari, mantan anggota Komisi Nasional HAM Asmara Nababan, dan guru besar filsafat UI Toeti Heraty Noerhadi Rooseno yang juga menjadi pembicara dalam kuliah terbuka itu.

Dengan suara lirih karena terserang radang pita suara, Karlina dengan memukau menjelaskan, kekuatan konsep HAM terletak pada penerimaan martabat manusia, yang bernilai pada dirinya sendiri dan tidak dapat dilenyapkan. HAM adalah syarat minimum agar dalam masyarakat, seseorang dapat memenuhi eksistensinya sebagai manusia.

Toety Heraty menambahkan, meskipun telah tiada, Munir melalui sahabatnya seolah terus ada. ”Dia melawan kesewenang-wenangan kekuasaan dan memperjuangkan nasib orang tertindas. Dia hadir dengan hidup dalam diri mereka yang percaya bahwa kebenaran bisa diungkapkan dan keadilan ditegakkan,” katanya. (jos/mh)