Talangsari Tidak Bisa Disidik, Ketiadaan Pengadilan HAM Ad Hoc Jadi Kendala

Jakarta, Kompas – Peristiwa Talangsari, Lampung, terancam bernasib sama dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat lainnya. Meskipun belum menerima berkas hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk peristiwa Talangsari, kejaksaan menyatakan tidak bisa menyidik perkara itu.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan akan mempelajari berkas penyelidikan dari Komnas HAM. ”Namun, kami terkendala belum adanya Pengadilan HAM Ad Hoc,” katanya, terkait hasil penyelidikan kasus Talangsari, di Kejaksaan Agung, Rabu (10/9).

Komnas HAM menetapkan peristiwa Talangsari tahun 1989 sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Dari hasil penyelidikan, sejumlah unsur pelanggaran HAM berat dipenuhi, seperti adanya pembunuhan, pengusiran paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan penganiayaan yang dilakukan sistematis dan meluas.

Hasil penyelidikan menyebutkan, korban pembunuhan 130 orang dan yang diusir mencapai 77 orang. Korban yang dirampas kemerdekaannya 53 orang, 45 orang disiksa, dan 229 orang dianiaya (Kompas, 10/9).

Menurut Marwan, Pengadilan HAM Ad Hoc dibutuhkan sebelum proses penyidikan, di antaranya untuk mengeluarkan izin bagi kejaksaan bila akan menggeledah, menyita, dan menahan seseorang. Selain itu, hasil penyelidikan Komnas HAM harus lengkap dan jelas.

Apakah tak ada cara bagi kejaksaan untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat tanpa menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc? ”Kalau kami, tak ada masalah. Kalau ada Pengadilan HAM Ad Hoc, penyidikan jalan,” ujar Marwan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Bonaventura Daulat Nainggolan menjelaskan, untuk peristiwa yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berlaku, pelanggaran HAM berat diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc itu dibentuk Presiden atas usul DPR.

Pada 31 Maret 2008, Kejagung mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Keempat berkas itu adalah perkara Wamena-Wasior, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, serta kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan orang secara paksa. Keempat berkas penyelidikan itu dikembalikan, antara lain, karena menunggu Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.

Terobosan dari pemerintah
Secara terpisah, mantan anggota Komnas HAM, Asmara Nababan, membenarkan sikap tegas (zakelijk) yang dilakukan oleh komisioner Komnas HAM dalam menangani pelanggaran HAM berat Talangsari. Komnas HAM hanya menggelar penyelidikan. Penyidikan dan penuntutan di Kejagung.

Semua itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan begitu, jelas Asmara, jika diharapkan terjadi suatu terobosan (breaktrough), hal itu hanya bisa diharapkan datang dari pemerintah.

”Boleh saja, misalnya, Komnas HAM membawa kasus Talangsari ke dunia internasional. Namun, langkah seperti itu sekadar upaya extra-legal dan sebatas advokasi. Apalagi pengadilan internasional kan juga tidak bisa mengadili kasus Talangsari,” ujar Asmara.

Menurut Asmara, dalam enam tahun belakangan banyak kasus pelanggaran HAM berat selalu terbentur di Kejagung dan tidak jelas penuntasannya. Padahal, sebelumnya kasus Tanjung Priok dan Timor Timur bisa berlanjut sampai tahap persidangan di Pengadilan HAM Ad Hoc.

Kondisi itu, menurut Asmara, terjadi lantaran pemerintahan Abdurrahman Wahid kala itu punya itikad baik dan kemauan politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM itu. Kondisi itu tak terjadi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Asmara juga mempertanyakan pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, bahwa yang dilakukan pemerintah di Talangsari saat itu bertujuan menumpas kelompok tertentu yang melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. ”Pernyataan tersebut sangat naif dan menyesatkan. Jika makar, tangkap saja pelakunya dan bawa ke pengadilan,” ujarnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menilai komentar Juwono dapat memperlemah semangat korban pelanggaran HAM untuk menuntut keadilan. (idr/dwa/jos)