Korban Talangsari Kecewa Sikap Kejagung

Jakarta, Kompas – Sejumlah korban peristiwa Talangsari, Lampung, tahun 1989, kecewa dengan sikap Kejaksaan Agung, yang sejak awal sudah memunculkan kesan menolak melanjutkan penyidikan kasus yang Selasa lalu ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM berat itu.

Baik Jayus maupun Widaningsih, keduanya korban peristiwa Talangsari, khawatir penanganan kasus yang mereka alami itu bakal menemui jalan buntu, seperti dialami sejumlah kasus pelanggaran HAM berat lain, yang mentok di tangan Kejagung.

Menurut Widaningsih, Kamis (11/9), dia sangat menginginkan kasus itu tuntas sehingga dia bersama semua korban lain bisa mendapat keadilan. Pemerintah, dalam hal ini Kejagung, menurut dia, harus memikirkan bagaimana hal itu bisa diwujudkan.

”Semua tergantung pemerintah. Kalau mereka mau, sebenarnya gampang saja. Pemerintah seharusnya lebih arif dan bijaksana kepada kami ini. Kami sebenarnya senang dengan keputusan Komnas HAM, yang kembali memberi harapan, keadilan itu ternyata masih ada,” ujar Widaningsih di Solo, Jawa Tengah.

Saat dihubungi melalui telepon di Palembang, Sumatera Selatan, Jayus, korban lain, menyatakan senang dengan keputusan Komnas HAM periode sekarang. Namun, dia juga mengaku khawatir kasus Talangsari akan dipingpong seperti kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain sebelumnya.

”Saya tak setuju kalau Kejagung bilang cuma mau memproses setelah ada Pengadilan HAM Ad Hoc. Pemerintah kan bisa saja melanjutkan kasus Talangsari itu, seperti juga dalam kasus Tanjung Priok dan Timor Timur, yang juga tidak perlu ada pengadilan HAM Ad Hoc-nya,” kata Jayus.

Sementara itu, Kejagung dinilai berkelit, untuk tidak disebut enggan, menyidik kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari. Tidak ada alasan bagi Kejagung untuk menunda penyidikan berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.

”Kejaksaan Agung sebenarnya hanya tinggal menyidik, apalagi Mahkamah Konstitusi juga telah menguatkan itu,” kata komisioner Komnas HAM, Kabul Supriyadhie.

Apalagi di Indonesia sudah ada preseden bahwa penyidikan pelanggaran HAM berat kasus Tanjung Priok dan Timor Timur dilakukan sebelum Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk. Izin untuk menggeledah, menyita, atau menahan seseorang, menurut Kabul, dapat diminta kepada pengadilan negeri.

Hal senada dikatakan Amiruddin Al Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. ”Kejaksaan Agung hanya berkelit jika mereka mengatakan harus menunggu pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Amiruddin. (DWA/jos)