Klaim Menhan Menuai Kecaman

Patuhi Standar Hukum Humaniter

Jakarta, Kompas – Walau diakui mengandung kebenaran, pernyataan sejumlah pejabat soal pelanggaran hak asasi manusia pada Seminar Nasional HAM dan Pertahanan Negara di Departemen Pertahanan, Kamis (18/12), dinilai belum lengkap dan berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat.

Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim, Jumat, bahkan melihat pernyataan-pernyataan para pejabat itu, terutama Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, menunjukkan kuatnya sisa budaya penyangkalan di kalangan para penyelenggara negara. ”Jadi, 10 tahun reformasi ternyata belum mampu menghilangkan budaya penyangkalan tadi, terutama soal bagaimana menciptakan akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang terjadi selama ini,” kata Ifdhal.

Menurut Ifdhal, jika memang ingin menyelesaikan masalah, pemerintah lewat Kejaksaan Agung seharusnya menindaklanjuti saja hasil penyelidikan Komnas HAM atas sejumlah kasus. Apalagi mengingat pihaknya juga menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat di sana.

”Adalah tugas Kejagung menindaklanjutinya dengan penyidikan demi memastikan dugaan temuan kami. Namun, proses itu tidak pernah dilakukan malah yang ada sampai sekarang hanya penyangkalan-penyangkalan didasari opini pribadi dan bukan tunduk pada proses hukum yang sudah ada,” ujar Ifdhal.

Seperti diwartakan, Juwono menyatakan tuduhan pelanggaran HAM berat oleh aparat, terutama TNI, dalam sejumlah kasus masa lalu seperti Talangsari dan penculikan aktivis adalah tuduhan yang anekdotal.

Sedangkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dalam pidato tertulisnya meminta semua pihak tidak melihat semua peristiwa itu secara hitam-putih. Apa yang dilakukan militer saat itu berada dalam konteks pertahanan negara dan menjaga keutuhan bangsa.

Tidak cuma itu, kekerasan yang dilakukan aparat diyakini memang menjadi kewenangan militer yang sah (the monopoly of legitimate violence).

”Memang benar negara berwenang menggunakan kekerasan, tetapi penggunaannya tetap harus sesuai standar hukum humaniter dan HAM. Pembelaan negara harus tetap mengacu pada aturan-aturan sebuah negara beradab,” kata Ifdhal.

Ifdhal mengecam argumen Juwono, yang dinilainya terkesan mencoba ingin memonopoli kebenaran. Menurut dia, jika memang ingin memperjelas persoalan, pemerintah, termasuk Juwono, harus bersikap terbuka pada proses penyelidikan yang digelar institusinya, terutama terkait kasus-kasus masa lalu.

Dihubungi secara terpisah, sejumlah pegiat HAM juga bereaksi keras. Asmara Nababan dari Demos menegaskan, putusan ada tidaknya pelanggaran HAM berat dalam kasus masa lalu, seperti Talangsari, harus dibuat oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. ”Pernyataan Juwono dan para pejabat itu mengecewakan karena tidak mencerahkan bagi masyarakat. Boleh saja bilang negara berwenang menyelenggarakan kekerasan. Akan tetapi, hal itu ada ketentuannya dan itu yang tidak dijelaskan,” ujarnya.

Koordinator Kontras Usman Hamid mengingatkan, militer pada masa lalu (ABRI) digunakan sebagai alat represi pemerintahan yang otoriter dengan berbagai macam ”baju”. Dalam konteks perang atau menghadapi perlawanan bersenjata, lanjutnya, militer tetap terikat pada hukum humaniter atau Konvensi Geneva, yang telah diratifikasi Indonesia 30 September 1958.

Menurut Usman, etika hukum humaniter mengharuskan pemenuhan prinsip keperluan militer (military necessity), kesatriaan, dan kemanusiaan. Artinya, walau masing-masing pihak boleh menggunakan kekerasan terhadap lawan, hal itu tak boleh dilakukan secara curang. Prinsip kemanusiaan juga melarang penggunaan kekerasan yang menimbulkan luka berlebihan.

”Menangkap musuh lebih utama daripada melukai, apalagi membunuh. Para nonkombatan harus dijauhkan dari arena pertempuran dan para korban luka harus diusahakan diobati,” kata Usman. (DWA)