Peristiwa Talangsari Bukan Makar, Korban Desak Pemerintah Pulihkan Hak

SUKADANA, JUMAT — Puluhan keluarga korban dan korban peristiwa Talangsari Februari 1989 menegaskan pemerintah harus menuntaskan kasus tersebut. Mereka juga menegaskan peristiwa tersebut bukan tindakan makar sehingga pemerintah seharusnya memulihkan hak-hak mereka.

Demikian penegasan dan desakan tersebut terungkap dalam peringatan 20 tahun peristiwa Talangsari di Desa Talangsari III, Kelurahan Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur, Jumat (6/2). Peringatan tersebut, selain diikuti puluhan keluarga korban pembunuhan dan korban selamat, juga diikuti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Jayus, salah satu saksi kunci peristiwa Talangsari pada peringatan tersebut menegaskan, peristiwa Talangsari bukan kasus makar, melainkan murni pelanggaran hak asasi manusia. Saat kejadian penyerangan dan penembakan oleh aparat militer, warga sama sekali tidak memiliki persenjataan.

Menurut Jayus, apabila peristiwa tersebut tergolong makar, ia justru mempertanyakan alasan aparat TNI menembak dan membakar ibu dan anak-anak, serta laki-laki pengikut pengajian di desa itu. "Kalau memang makar, kenapa justru ibu-ibu dan anak-anak ditahan dan diperlakukan tidak manusiawi?" ujar Jayus.

Chrisbiantoro, Staf Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban dari Kontras, mengatakan, kalau sampai pemerintah menyebut peristiwa Talangsari sebagai gerakan makar, maka itu berarti sebagai bentuk kebusukan politik. Kontras meminta kepada pihak yang menyebut peristiwa Talangsari sebagai makar agar mencabut kembali sebutan itu.

"Pernyataan itu dikeluarkan karena ada pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan dan ingin supaya kasus itu tidak selesai," ujar Chrisbiantoro.

Pada peringatan tersebut, Jayus mengajak seluruh keluarga korban dan korban untuk memperkuat tekad memperjuangkan penyelesaian kasus. Mereka menginginkan dalang peristiwa tersebut diadili dan dihukum.

Amir (64), seorang guru SD yang juga menjadi salah satu korban peristiwa Talangsari yang kehilangan hak-haknya sebagai pegawai negeri selama 20 tahun mengatakan, selama 20 tahun menjadi korban selamat, warga Talangsari sama sekali tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga sipil. Warga Talangsari tidak pernah merasakan fasilitas layanan publik, seperti listrik, air bersih, ataupun pembangunan jalan.

"Kami juga mendapat cap yang tidak mengenakkan," ujar Amir. Untuk itu, ia mengajak keluarga korban untuk mendesak pemerintah segera memulihkan dan mengembalikan hak-hak warga.

Peristiwa Talangsari bermula dari pengajian yang dipimpin Warsidi, warga Dusun Cihideung atau nama lama dari Desa Talangsari III pada tahun 1980-an. Pengajian tersebut mengkritik pemerintahan Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan masyarakat. Selain itu, pengajian juga mengecam asas tunggal Pancasila.

Pihak militer yang sudah lama mengetahui pengajian tersebut mendatangi desa tersebut pada 7 Februari 1989 dan terjadilah peristiwa pembantaian dan pembakaran rumah warga. Akibat peristiwa itu, sedikitnya 246 warga tewas.

Kegiatan peringatan Peristiwa Talangsari tersebut selain diisi acara doa bersama, juga diisi dengan acara napak tilas. Napak tilas dilakukan di lokasi tempat pondok pesantren dibakar dan tempat kuburan massal warga Desa Talangsari. (HLN)