Penolakan Penyidikan Kasus Pelanggaran HAM oleh Jaksa Agung

No        :  29/SK-KontraS/II/2009
Hal        : Penolakan Penyidikan Kasus Pelanggaran HAM oleh Jaksa Agung
Sifat     : surat terbuka
Lamp      : 3 lembar

 

Kepada Yang Terhormat
Ketua Komisi Kejaksaan
Bapak Amir Hasan Ketaren, S.H

Di-
            Tempat

Dengan Hormat,
Sampai dengan satu dasawarsa Reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih berjalan di tempat. Salah satu hambatan signifikan disebabkan oleh penolakan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM.

Jaksa Agung, sejak periode Bapak MA Rahman (2001) sampai dengan periode Bapak Hendarman Supandji (2008) bersikeras menolak untuk  menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM baik untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II/TSS (2002), Mei 1998 (2003), Wasior Wamena (2004), Penculikan dan Penghilangan Paksa (2007), dan terahir kasus Talangsari (2008). Sekurang-kurangnya telah terjadi sekitar 10 (sepuluh) kali pengembalian berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM (lihat lampiran).

Saat ini semua berkas kasus tersebut berada di Kejaksaan Agung. Kondisi ini, tidak hanya memberikan dampak yang buruk baik bagi korban yang terus menanti keadilan dalam ketidakpastian hukum, namun juga buruk bagi kewibawaan penegakan hukum dan keadilan di negara kita.

 A. Alasan Penolakan Jaksa Agung
Pada 2002 penolakan Kejaksaan Agung berkenaan dengan syarat formil materil; seperti sumpah jabatan penyelidik, identitas lengkap subyek atau saksi, pemeriksaan saksi, militer, polisi dan dokumen-dokumen relevan. Pada 2003 Kejaksaan Agung memunculkan alasan tentang adanya rekomendasi Panitia Khusus (PANSUS) DPR RI (2001) yang menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II bukan Pelanggaran HAM berat, selanjutnya 2004-2008 alasan yang lebih mengemuka berkenaan dengan  prinsip nebis in idem  dan Pasal 43 UU No.26/2000 tentang usulan pembentukan pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Memang benar bahwa untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 23 Nopember 2000, diperlukan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Dan benar bahwa Pengadilan ini dibentuk atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Namun adalah tidak benar jika pembentukan Pengadilan ini mendahului penyelidikan dan penyidikan, sebab untuk sampai pada usulan Pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui rangkaian penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu.

UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 butir 5). kemudian hasil penyelidikan diperkuat dengan tindakan penyidikan, yaitu serangkaian tindakan untuk mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (KUHAP). Penyidikan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 UU No.26/2000).
 
Berdasarkan hal diatas, maka Jaksa Agung seharusnya memperkuat hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kemudian dijadikan dasar bagi DPR RI untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Bukan menolak penyidikan dan meminta DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu. Sebab kebutuhan Jaksa Agung atas Pengadilan HAM ad hoc ini berada pada tahap penuntutan. Sementara saat ini, penanganan perkara diatas belum pada tahap tersebut, melainkan baru pada tahap penyelidikan, untuk dilanjutkan dengan penyidikan.

Sedangkan untuk kasus Wasior Wamena tidak membutuhkan pengadilan HAM ad hoc, sebab peristiwa Wasior terjadi pada tahun 2001 dan peristiwa Wamena terjadi pada 2003, setelah diundangkannya UU no 26/2000, yaitu pada tahun 2003. sehingga tidak harus menggunakan pengadilan HAM ad hoc, tetapi dengan pengadilan HAM (permanen). Dan alasan ”nebis in idem” menurut kami juga tidak tepat, pertama, untuk kasus Semanggi I dan Wasior Wamena belum pernah ada pengadilan. Kedua, pengadilan yang digelar untuk kasus Trisakti, semanggi II, penculikan dan penghilangan paksa bukan delik pidana pembunuhan atau penculikan, tetapi berkenaan dengan internal militer, menyangkut kesalahan prosedur.

B.Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia
Keharusan penyelidikan dan penyidikan telehih dahulu harus dilakukan, juga sejalan dengan pertimbangan keputusan MK atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan oleh Eurico Guterres terpidana kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur (1999). Dalam keputusannya MK menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK menyatakan “untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad hoc suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR, tetapi DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institui berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejasaan Agung”

C. Peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia

Sejauh ini pertimbangan dalam putusan MK tersebut tidak juga merubah sikap Jaksa Agung terhadap 5 berkas kasus pelanggaran HAM yang tertahan di Kejaksaan Agung.  Kiranya dalam persoalan diatas, Komisi Kejaksaan dapat mengambil peran strategis dalam upaya mendorong Jaksa Agung untuk melakukan fungsi penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. sebagaimana diatur dalam pasal 21 UU no 26/2000 bahwa Penyidikan terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

Peran Komisi Kejaksaan untuk mendorong dan memantau kinerja Kejaksaan Agung terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terganjal di Kejaksaan Agung, menurut kami juga sesuai dengan wewenang Komisi Kejaksaan, sebagaimana diatur dalam pasal 10 Perpres No 18/2005, bahwa Komisi Kejaksaan berwenang untuk;

  1. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja Jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya;
  2. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap sikap dan perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan di dalam maupun di luar tugas kedinasan;
  3. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan; dan
  4. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan, dan penilaian sebagaimana tersebut huruf a, huruf b, dan huruf c untuk ditindaklanjuti.

Merujuk pada wewenang tersebut, kami berharap Komisi Kejaksaan, pertama, berperan aktif  mengawasi, memantau serta memberikan evaluasi dan masukan kepada Jaksa Agung dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tertahan di Kejaksaan Agung. Kedua, mendorong Jaksa Agung untuk membuka diri dengan Komnas HAM guna mencari jalan keluar hukum yang berkeadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.  Dua hal diatas penting, karena    dalam kasus pelanggaran HAM berat, Jaksa adalah representasi korban dalam menggapai keadilan.

Demikian Pengaduan ini kami sampaikan, semoga Komisi Kejaksaan dapat bekerjasama  untuk mendorong perwujudan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang terus menanti dalam ketidakpastian dalam sepuluh tahun terahir. Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.

 

Jakarta, 10 Februari 2009
Badan Pekerja,                                                                         

 Yati Andriyani
Kadiv Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban