Memperlebar Pintu Perjuangan

Aktivis Berniat Perjuangkan HAM Lewat DPR

B Josie Susilo Hardianto

Lebih dari 20 tahun, setelah Swasono meninggal, Bu Rasmin masih juga belum mampu mengusir kerisauan batinnya. Ketika mengingat Swasono, ia menggigit erat bibirnya, mencoba mengalihkan rasa perih hatinya.

Swasono adalah anak keempat keluarga Rasmin, warga dusun Talangsari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung. Ketika tragedi Talangsari meletus pada Februari 1989, Swasono baru berumur 16 tahun. Sore itu ia tengah mengikuti pengajian di masjid yang berada di kompleks pondok yang dikelola keluarga Jayus.

Swasono adalah salah satu korban tewas ketika tentara menyerbu kompleks itu. Dalam laporan hasil penyelidikannya, Komnas HAM mencatat setidaknya 130 orang meninggal tewas. Imbas dari penyerbuan itu, 109 rumah warga terbakar dan rusak.

Awal Februari lalu, ketika korban dan keluarga korban memperingati 20 tahun peristiwa itu, Bu Rasmin tetap tinggal di rumah. Ia tidak sanggup menghadirinya. ”Kulo mboten mentolo. Kados pundi raosipun bilih dipun tilar lare,” katanya.

Ia mengatakan, ia tidak sanggup, ia tidak tega. Matanya memang tidak berair, tetapi suaranya bergetar menahan tangis. Namun, Bu Rasmin tak sendiri, ada korban-korban yang lain, seperti Mbah Paimun, Sumardi, dan Suroso, juga Azwar Kaili.

Selain rumah, Azwar kehilangan seorang anaknya. Ia dan keluarganya juga ditahan.

Tahun 1991 setelah dibebaskan ia pernah mengadu melalui Kotak Pos 2000. Bukan perhatian yang diperoleh, melainkan justru penahananlah yang ia terima. Setelah 17 tahun berselang, pada Maret tahun lalu bersama dengan keluarga korban pelanggaran HAM, Azwar Kaili diterima langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepadanya, Presiden antara lain menjanjikan, dalam waktu lima hari akan mengutus tim dan memenuhi kebutuhan infrastruktur, seperti listrik, untuk dusun itu.

Namun, hingga saat ini, hampir satu tahun dari pertemuan itu, janji tersebut belum terwujud. Bahkan, penyidikan kasus itu pun belum berlangsung.

Kendalanya antara lain adalah sistem hukum dan keterbatasan undang-undang. Menurut Indriyaswati Dyahsaptaningrum dari Elsam, sikap birokrat, kemampuan anggaran, dan sensitivitas terhadap isu HAM, juga turut memengaruhi.

Dari dalam

Meskipun masih diliputi pandangan yang cenderung pesimistis, hadirnya sejumlah aktivis gerakan HAM dan korban dalam pertarungan politik tahun ini memberi secercah harapan. Menurut Indri, keterlibatan dan kredibilitas mereka dalam isu HAM dapat menjadi modal untuk memperjuangkannya.

Hal serupa juga dilihat oleh para korban tragedi Talangsari. Saat ini mereka telah memiliki calon yang hendak dipilih. Pilihan itu didasari oleh pertimbangan rasional, si calon selama ini serius dan setia mendampingi serta memperjuangkan kepentingan korban. ”Jujur kami tidak memandang partainya, yang kami lihat adalah dia,” katanya.

Mereka berharap kehadiran calon itu di DPR dapat membuka ruang lebih banyak dan kesempatan untuk memperjuangkan keadilan bagi korban. Bagi mereka yang optimistis, langkah aktivis HAM untuk terlibat aktif dalam politik disambut baik, tetapi bagi mereka yang pesimistis, langkah itu diragukan. Alasannya, banyak orang idealis ketika sudah di ”dalam” ikut berubah.

Memang, suasananya tidak seekstrem seperti terjadi pada masa awal-awal reformasi, ketika sesama aktivis saling curiga sewaktu ada rekan aktivis lain memilih terjun ke ranah politik praktis. Keputusan untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu sekarang relatif sudah bisa lebih diterima dan malah didukung.

Beban moral

Contohnya, Faisol Reza, salah seorang dari sembilan aktivis yang pada tahun 1997-1998 diculik dan kemudian dibebaskan. Dia menyatakan bahwa maju sebagai caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan bermodalkan ”bekal emosional” dan keinginan untuk mengungkap terang keberadaan 14 aktivis korban penculikan, yang sampai sekarang masih tidak diketahui.

Sebelumnya Faisol aktif di Partai Rakyat Demokratik, yang sayangnya tidak lolos kebijakan electoral threshold pada pemilu lalu. Dalam Pemilu 2009 sekarang dia memilih masuk dan maju melalui PKB.

”Kalau lolos, saya ingin masuk Komisi III. Secara pribadi saya setidaknya punya beban moral, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap para keluarga korban. Beban setidaknya untuk menjawab dan mencari tahu di mana keberadaan keempat belas rekan saya sesama aktivis. Sudah beberapa kali presiden berganti, pertanyaannya masih sama, di mana mereka?” ujar Faisol.

Hal itu disampaikan Faisol dalam dialog publik bertema ”Caleg Pembawa Pesan Kemanusiaan dan Perubahan”, Sabtu (14/2) di halaman Kantor Kontras, Jakarta. Diskusi dihadiri pula para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ikut dalam dialog publik itu. antara lain Binny Bintarti Buchori dari Partai Golkar, Arif Budimanta dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sarbini dari Partai Demokrat, Yusuf Warsyim dari Partai Matahari Bangsa, dan Ahmad Yani, caleg dari Partai Persatuan Pembangunan.

Perspektif dan perencanaan soal apa yang akan mereka lakukan dipaparkan dalam dialog yang berlangsung lebih dari dua jam itu. Sebagian dari mereka yakin dengan langkah yang akan diambil jika terpilih, tetapi sebagian lain tidak terlalu yakin terhadap parpolnya sendiri.

Menurut Arif Priyadi, orangtua Norman Irawan, korban tragedi Semanggi I, setiap parpol selalu menuntut loyalitas anggotanya. Juga pemodal yang membiayai caleg. Dalam kondisi seperti itu, sulit tentunya bagi seorang anggota legislatif bisa bertahan atau bahkan melawan kebijakan atau perilaku parpolnya sendiri. Kondisi itu dibenarkan Ahmad Yani, yang mengaku tidak berdaya melawan keputusan parpolnya, yang menetapkan dirinya menjadi caleg di daerah yang tidak dikuasainya.

Akan tetapi, Yani akan berupaya. ”Saya akan berusaha maksimal melakukan perubahan semampu saya dan sesuai dengan bidang saya di hukum,” kata Yani. (Wisnu Dewabrata)