Ada Keberanian Korban untuk Bersuara…

KOMPAS.com – PURWOKO masih remaja ketika waktu menunjuk 7 Februari 1989 jam 5 subuh. Di kampung halamannya di Talangsari Lampung, dengan dalih markas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), ABRI membabi buta warga kampung tersebut bak menyerang musuh dalam peperangan.

Sekalipun masih pekat, jelas di hadapan Purwoko, Warsidi yang sehari-hari memimpin kelompok mengaji lunglai tak bernyawa. Peluru menembus kepala dan dada kirinya. Namun, tentara ABRI masih saja menyembelih lehernya sampai hampir putus.

“Hari-hari itu (6-7/2/1989) saya dipaksa menyaksikan teman-teman sebaya dibakar hidup-hidup. Orangtua dan saudara-saudara saya dihabisi dengan berondongan peluru mematikan. Satu demi satu mereka menghembuskan nyawa layaknya binatang yang terkena virus yang harus dibinasakan,” begitu Purwoko memberi kesaksian yang mengisi halaman 132-148 di buku Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah .

Rekam jejak derita terus menancap tiap periode. Setidaknya Bedjo Untung, melalui tulisannya di halaman 168-186, memulai periode itu tahun 1960-an. Dia korban sekaligus saksi dari jutaan orang Indonesia yang dibantai oleh aparat dengan dalil pemberontakan PKI.

Sejak saat itu, banyak sekali peristiwa yang yang berujung pada penistaan martabat manusia. Beberapa di antaranya menjadi kisah monumental, seperti peristiwa Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, Tanjung Periok 1984, Trisakti, Kematian Munir, Konflik Poso dan masih banyak yang lainnya yang terekan dalam buku ini.

“Saya kecewa dengan kinerja Jampidsus. Mereka tidak serius, padahal ini merupakan kawajiban yang mesti dilakukan,” kata Suciwati, istri Munir, berkomentar soal keseriusan pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM yang tidak kunjung ada hasilnya.

Untuk itulah, menurut Suciwati, karena upaya hukum masih mentok maka ia bersama dengan para korban pelanggaran HAM dari tahun 1960an sampai sekarang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menulis buku ini.

Api

Membaca buku yang ditulis para korban pelanggaran HAM ini kita tidak hanya mendengar tangisan dan jeritan mereka untuk meminta keadilan. Lebih dari itu, kita akan merasakan kekuatan dan keberanian mereka untuk bersuara. Ada api dalam tiap kata yang mereka pilih.

Mungkin inilah yang dimaksud Sandyawan Sumardi dalam pengantar yang mengatakan manusia itu lapar akan makna. “Manusia tidak hanya lapar akan makanan, tetapi juga lapar akan makna, makna yang dipahami sebagai sesuatu yang obyektif, sesuatu yang mesti ditemukan dan dikenali” (ix).

Proses pencarian itu memungkinkan karena mereka adalah manusia yang berjiwa. Hidup. Dinamis. Bergerak. Tidak bisa dibungkam oleh rumitnya birokrasi. Tidak pula dimatikan oleh ancaman dan intimidasi. Menggunakan kata-kata Suciwati, para korban ini bagai tetes-tetes air yang terus menetesi batu (baca: pemerintah) yang sangat keras.

Tetesan yang bergerak dinamis itu menandakan kedalaman kisah mereka. Kalau akrab dengan laporan investigasi suatu kasus yang kerap disajikan pada media cetak atau elektronik, kita akan terperangah ketika membaca buku ini. Kesan yang akan kita rasakan adalah ketulusan apa adanya dari tuturan fakta naratif orang-orang sederhana. Dan, itulah yang langsung menusuk nurani kita. “Inilah fakta yang sesungguhnya,” kata Arief Priyadi ayah dari Wawan yang menjadi korban Semanggi I.

Seluruh kejadian yang ditulis dalam buku ini telah terjadi, mulai dari hitungan 5 tahun sampai dengan 44 tahun. Baru pada 2008 kisah-kisah tersebut dituliskan dan diterbitkan tahun ini. Dengan demikian, membaca narasi kaum korban tersebut, seolah kita merasakan bekerjanya suatu hegemoni, entah itu kita mengistilahkan “pemeritah” atau “militer”, di balik bayangan hiruk-pikuk massa di jalanan dan di balik punggung para pelanggar HAM.

Tak pelak banyak jeritan konkret terdengar ketika tiap halaman kita sibak. Sesuatu yang tidak kita dapatkan ketika membaca laporan dari Komnas HAM, Jampidsu, DPR, maupun pemerintah yang hanya menyebut angka-angka jumlah korban. Ya, hanya sebatas itu.

Mereka tidak pernah tahu bagaimana perjuangan Yunita Rohani yang bekerja di Malaysia ketika pulang diperas di bandara dan kehilangan salah satu jarinya (22-38). Juga tidak pernah tahu bagaimana Suparmi menangis histeris ketika rumahnya bersama warga di Tanjung Duren digusur paksa dengan beking brimob, intel, reserse, polwan, aparat kodim, hansip, trantib, sampai preman bersenjata tajam (31-38). Atau, apakah mereka juga tahu tangisan dan teriakan Ho Kim Ngo ibu Yun Hap korban Semanggi I yang meninggal karena timah panas dari senjata laras panjang kaliber 5.56 mm SS1 milik TNI (58-69).

Yang menarik, dalam banyak peristiwa pahit para korban ini tetap berpengharapan dalam Tuhan yang mereka yakini. Inilah yang menguatkan mereka untuk terus berjuang menegakkan keadilan dan menyuarakan kebenaran. “Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan…” tulis Suciwati (21).

Akhirnya, di bagian Epilog, Maria Hartiningsih mengingatkan bahwa rekaman traumatis para korban ini bisa bersifat memori negatif yang bisa melahirkan bibit-bibit kekerasan baru. Untuk itu perlu ditempuh rekonsiliasi publik yang dimulai dari rekonsiliasi dengan diri sendiri.

“Buku ini menurut saya sangat berarti bagi proses itu,” tulis Maria (194).

Selamat berjuang saudaraku. Jangan menyerah, banyak pihak yang mendukung kalian…

(C4-09)