Buku Sintong Bisa untuk Penegakan HAM

Jakarta, Kompas – Para aktivis hak asasi manusia bersama korban meminta agar mantan petinggi militer di Indonesia berhenti berkelit. Menurut mereka, kontroversi seputar buku Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, selayaknya ditempatkan dalam kerangka penegakan HAM.

Juga, jangan dimaknai sebagai perbedaan pendapat di antara mantan petinggi TNI.

”Karena itu, instansi-instansi terkait sebaiknya segera menindaklanjuti informasi dalam buku itu sebagai referensi proses penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia,” kata Kepala Biro Litbang Kontras Papang Hidayat, Jumat (13/3).

Menurut Papang, dalam buku itu banyak informasi baru yang penting terkait dengan misteri di balik berbagai peristiwa pelanggaran HAM, seperti pembantaian di Santa Cruz, Timor Timur, penghilangan paksa para aktivis, hingga kerusuhan Mei 1998.

”Selama ini informasi itu tidak dapat diperoleh dari mekanisme penyelidikan formal yang dijamin Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” katanya.

Tentang penghilangan paksa, misalnya, dalam buku itu Sintong mengungkapkan posisi mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan keterlibatan Tim Mawar. Ia mempertanyakan tanggung jawab komando Prabowo yang mengaku tidak mengetahui operasi itu. Ia juga menyatakan kesedihan terkait dengan keterlibatan dan sanksi pidana atas prajurit Kopassus yang terlibat dalam operasi tersebut. Dalam buku itu, Sintong berpendapat, perlu ditelusuri lebih jauh asal-usul perintah yang mereka emban.

Dihubungi secara terpisah, komisioner Komisi Nasional HAM, Ridha Saleh, mengatakan sependapat dengan langkah itu. Namun, saat ini proses penyelidikan Komnas HAM atas kasus penghilangan paksa telah selesai dan berkasnya sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Menurut dia, buku itu dapat digunakan Kejaksaan Agung sebagai referensi penyidikan.

Secara terpisah, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letjen (Purn) Soeryadi meminta semua pihak, terutama kalangan purnawirawan TNI, untuk lebih melihat masa depan daripada selalu menengok ke masa lalu.

”Dengan begitu, kalaupun ada niat dari setiap individu (purnawirawan TNI) untuk menularkan pengalaman mereka, hal itu seharusnya dilakukan dengan niat sebatas untuk memberi pelajaran demi perbaikan dan bukan untuk melumuri (mengotori) wajah sendiri,” katanya saat dimintai tanggapan soal kontroversi buku karya Sintong Panjaitan itu. Buku tersebut menyebut sejumlah nama petinggi TNI pada masa lalu, seperti Wiranto dan Prabowo Subianto.

”Kami (PPAD) menganggap masalah ke depan membutuhkan keterlibatan seluruh potensi bangsa, termasuk para purnawirawan TNI, untuk menyumbangkan darma dan bakti masing-masing. Bukan malah saling pamer kekuatan masing-masing,” ujar Soeryadi. (jos/dwa)