Berpolitiklah dengan HAM

Berpolitiklah dengan HAM

Usman Hamid

Pemilihan umum sudah di depan mata. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan, proses pemilu harus berlangsung secara bebas dan adil. Tidak cukup dalam tataran abstrak, jaminan ini juga harus benar-benar terwujud dalam kenyataan.

Masalah nasional seputar surat suara, daftar pemilih tetap (DPT), atau apa yang baru-baru ini terjadi di Aceh berupa penembakan, pembunuhan, dan peledakan bom, dapat merupakan suatu penghalang bagi terlaksananya pemilu yang ideal.

Pemilu yang bebas dan adil mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak demokrasi, hak untuk berekspresi dan berpendapat, menggelar rapat, berserikat, serta kebebasan untuk bergerak—termasuk untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi—tanpa rasa ketakutan dan diskriminasi.

Tugas semua

Negara, khususnya kepolisian, memiliki kewajiban untuk menjamin rasa aman setiap pemilih dari kemungkinan adanya tekanan atau intimidasi. Jangan sampai ada upaya dari partai-partai untuk secara paksa mendaftarkan pendukungnya, termasuk memobilisasi pemberi suara pada hari-H dan mengarahkan/memaksanya memilih partai/kandidat tertentu.

Penyelenggara dan peserta pemilu harus memberikan informasi yang jujur dan tak menyesatkan seputar partai atau calon yang diusungnya. Mereka tak boleh meminta seseorang untuk memberi tahu apa yang akan dan telah dipilihnya. Kekerasan dan paksaan, termasuk menggunakan uang terhadap seorang pemilih, tak dibenarkan.

Bukan hanya kepolisian, tetapi semua unsur penyelenggara penegakan hukum juga merupakan tulang punggung keberhasilan pemilu. Pemerintahan yang berkuasa dan mengikutsertakan dirinya dalam pemilu harus bersikap netral dan imparsial. Tak satu menteri pun, termasuk Panglima TNI dan Kepala Polri atau pegawai negeri yang dibolehkan untuk memengaruhi berlangsungnya proses pemilihan, termasuk menggunakan sarana militer, sipil/kepolisian atau program-program kegiatan yang merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan pemerintah demi tujuan-tujuan politik partisan.

Jaminan ini diperlukan agar pemilu menghasilkan sebuah pemerintahan sejati yang berbasis pada kehendak rakyat. Pasal 21 Ayat 3 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyatakan, ”Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang universal dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia, ataupun dengan prosedur yang menjamin kebebasan memberikan suara.”

Pasal 2 mensyaratkan penerapan tanpa pengecualian atau pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain.

Pelaksanaan prinsip dasar ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara setelah ditegaskan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia tahun 2005. Pasal 25 butir b menyatakan, ”setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan… untuk memilih dan dipilih melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari kehendak para pemilih.”

Masalah DPT

Penanganan seputar DPT harus sampai tuntas. Sebab, bisa berakibat hilangnya hak yang amat pokok dalam konteks partisipasi, yaitu pelaksanaan hak untuk memberikan suara (memilih) dan hak untuk dipilih dalam kontestasi yang demokratis (egaliter).

Penanganannya harus mampu menjamin semua orang yang berhak memberikan suara telah terdaftar. Termasuk semua orang yang sedang berada dalam pengungsian, berusia lanjut, mereka yang tak dapat membaca, mereka yang ada di panti-panti sosial, sampai dengan orang-orang yang berstatus tahanan atau narapidana.

Pemilu memegang peran sangat penting dalam memastikan penghormatan hak setiap orang dalam partisipasi politik. Biayanya besar. Karena itu, pergantian kekuasaan kali ini diharapkan mampu menghadirkan keadaan yang jauh lebih baik di bidang penegakan hak asasi manusia, kebebasan politik, dan kesejahteraan sosial.

Sayang, masa depan politik penegakan hak asasi manusia pasca-Pemilu 2009 berpotensi menjadi suram. Sebab, tak ada satu partai politik pun yang berani secara jelas dan tegas memperjuangkan platform hak asasi manusia. Padahal, penyelenggaraan pemilu adalah pelaksanaan hak yang fundamental dari setiap orang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Hasil pemilu itu sendiri tampaknya masih memerlukan perjuangan ekstra yang tantangannya lebih berat agar pemerintahan baru pada masa depan betul-betul merefleksikan hak asasi manusia sebagai kehendak rakyat.

Usman Hamid Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)