Cinta Kasih dan Harapan

Langit berawan gelap ketika korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia memulai aksi kamisan ke-106. Telah berkali-kali aksi itu digelar untuk menuntut penuntasan perkara pelanggaran HAM, tetapi berkali-kali pula tuntutan itu diabaikan.

”Cinta dan kasihlah yang membuat kami tetap mampu bertahan. Cinta dan kasih dari anak, keluarga, dan teman kami yang tewas dan hilang yang membuat kami tetap kuat dan teguh meneruskan perjuangan mereka,” kata Sumarsih, ibunda mendiang BR Norma Irmawan atau akrab dipanggil Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, Jakarta, yang tewas dalam kerusuhan Semanggi, 13 November 1998.

Apalagi, saat ini ketika pemilu menempatkan lagi partai yang sebelumnya berkuasa memegang lagi tampuk kepemimpinan negara. Fakta itu tidak memberi banyak harapan. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Konfigurasi sembilan partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu lalu, bagi korban tidak memberi harapan. Namun, itu tidak membuat asa mereka pupus. Di depan para korban, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Kontras Yati Andriyani mengatakan, korban harus tetap saling membangun dukungan.

Dukungan itu salah satunya datang dari Aurora Morea dan Lydia Taty Almeida. Mereka berdua adalah bagian dari ibu-ibu yang tergabung dalam aksi di Plaza De Mayo, Argentina, aksi yang kemudian mengilhami aksi kamisan itu. Plaza De Mayo, pada 1977, Azucena Villaflor bersama dengan 13 ibu-ibu lain memulai aksi publik menuntut kejelasan nasib anak-anak mereka yang hilang semasa rezim militer berkuasa di Argentina. ”Los desaparceidos estan presentes!” seru ibu-ibu itu setiap kali berunjuk rasa. ”Mereka yang hilang hadir di sini!”

”Dan, saya selalu merasakan Wawan pun hadir di sini menemani saya untuk terus berjuang,” kata Sumarsih. Jauh di atas sana, di balik mendung gelap yang menggantung, matahari bersinar terang. (JOS)