Kontestasi Politik Jangan Abaikan HAM

Jakarta, Kompas – Kontestasi politik dengan koalisi antarparpol yang dibangun diharapkan tidak mengabaikan upaya penegakan hak asasi manusia. Di tengah kontestasi itu, para korban pelanggaran HAM berharap beberapa partai politik yang selama ini cukup intensif berupaya menegakkan HAM tidak mengambil jalan pintas demi memenangi kekuasaan dan menafikan semua perjuangan yang telah mereka tunjukkan.

Sejauh ini korban pelanggaran HAM mencatat partai seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa memiliki perhatian pada kasus Trisakti, Semanggi I dan II, serta kasus penghilangan paksa aktivis pada 1998. Beberapa partai lain, seperti Demokrat, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera, juga dinilai cukup memberi perhatian terhadap kasus Munir.

”Tetapi, isu koalisi PDI Perjuangan-PAN-PPP dengan Partai Gerindra dan Hanura terlihat sebagai proyeksi gelap penegakan HAM pada masa mendatang,” kata Sipon, istri Wiji Thukul korban penculikan aktivis 1998.

Dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (23/4) itu, hadir pula Suciwati (istri mendiang Munir), Oetomo (orangtua Petrus Bimo Anugerah, korban penculikan), Sumarsih (orangtua BR Norma Irmawan, korban kasus Semanggi), Tineke Rumkabu (korban kasus Biak 1998), serta Salmiati yang korban DOM di Aceh.

Mereka mengkhawatirkan koalisi partai yang melibatkan Gerindra dan Hanura menyebabkan upaya penegakan HAM di parlemen, sebagaimana dilakukan selama ini, kehilangan makna.

Catatan sejarah

Di sisi lain para korban juga mengingatkan kepada semua partai politik, pelanggaran HAM telah menjadi kesepakatan internasional sebagai musuh umat manusia. ”Jadi para pelaku kejahatan tidak dapat berlindung di balik kekuasaan sebagai Presiden atau Wakil Presiden sekalipun,” kata Sipon.

Tineke Rumkabu juga menegaskan, para korban tidak pernah melupakan tindakan dan kesewenang-wenangan para pelanggar HAM. ”Catatan sejarah itu, kami tidak akan lupa,” katanya.

Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Salmiati, selayaknya mereka tidak dipilih. Para korban khawatir jika diberi kesempatan berkuasa, para pelanggar HAM itu akan menggunakan negara, termasuk TNI, sebagai alat penindas dan menggunakan hukum untuk mengukuhkan impunitas.

Untuk itu, para korban meminta agar partai-partai politik yang selama ini telah memberi perhatian kepada upaya penegakan HAM tetap konsisten dengan sikap mereka. Para korban juga mengharapkan agar partai-partai tersebut menjaga jarak dengan para pelanggar HAM.

”Kekuasaan harus demi kepentingan rakyat, demi pemenuhan kesejahteraan, keamanan, keadilan, dan kebenaran. Kami berharap koalisi yang dibangun tidak hanya sebatas pembagian kekuasaan, tetapi didasarkan pada agenda bersama, khususnya hak asasi manusia dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik,” kata Sipon.

Dalam kesempatan itu, para korban juga mengingatkan akan keruntuhan petinggi negara, seperti Augusto Jose Ramon Pinochet, Saddam Husein, Slobodan Milosevic, dan Ferdinand Marcos. Para diktator itu akhirnya runtuh dan menjadi target dunia internasional karena pelanggaran yang mereka lakukan.

”Kami tidak ingin, hal itu dialami oleh pemimpin negeri ini,” kata Sipon. (JOS)