Aurora dan Taty, Berbagi Harapan

“Kami datang untuk menunjukkan solidaritas, berbagi pengalaman serta keyakinan akan datangnya keadilan”. Kalimat itu diucapkan Taty Almeida (79), ibu dari Alessandro M Almeida. Saat ”diambil” pada 17 Juni 1976, anak kedua dari tiga bersaudara itu berusia 20 tahun.

”Dia mahasiswa kedokteran semester satu dan anggota kelompok Gerakan Revolusioner Rakyat, ERP,” lanjut Taty seraya mengeluarkan potret hitam putih seorang anak muda dalam bingkai kertas karton yang lusuh dari tasnya.

Potret itu ditaruh di dada, lalu didekapnya. ”Sejak itu dia tak pernah kembali,” tuturnya. ”Mungkin dia sudah tewas, tetapi saya tidak tahu di mana makamnya.”

Aurora Morea (84) mendekap potret hitam putih seorang perempuan muda. ”Ini putri sulung saya, Susana Elena Pedivri de Bronzel. Saya punya dua anak, Susana yang sulung dan baru menikah,” ujar Andrea dengan suara terbata. Setiap kali mendekap foto anaknya, ia berbisik, ”Ibu mencintaimu, Nak….”

Aurora kehilangan anak perempuan dan suami anaknya (menantu), ibu dari menantunya, dan menantu laki-laki yang lain, dalam ”The Dirty War”. Istilah itu digunakan junta militer pimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla di Argentina tahun 1976 yang mengklaim dirinya sebagai ”penjaga nilai-nilai bangsa”.

”Perang Suci” dilancarkan untuk membasmi tak hanya gerilya dan ’teroris’ kelompok kiri, tetapi juga siapa pun yang dicurigai melakukan kegiatan ”subversif” yang ”mengotori nilai-nilai bangsa” karena mengancam ”harmoni”, ”kesatuan”, dan ”kepatuhan”.

Perbincangan dengan Taty dan Aurora berlangsung hampir dua jam pada Minggu (19/4). Mereka didampingi Direktur Eksekutif Amnesty International Argentina, Rafael Barca. Keduanya ditemui lagi ketika berbagi pengalaman dengan keluarga korban di Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Selasa (21/4).

Lambang popok bayi
Taty dan Aurora adalah anggota Madres de Plaza de Mayo Linea Fundadora atau The Mothers of the Plaza de Mayo-Founding Line. The Mothers of the Plaza de Mayo yang lahir pada 1976 adalah ”organisasi” para ibu dan nenek dari berbagai kelas sosial di Argentina yang anggota keluarganya dihilangkan saat rezim militer berkuasa, 1976-1983.

Tujuh tahun kekuasaan junta telah mengubah mereka dari peran tradisionalnya, menjadi aktivis politik dan hak asasi manusia, serta berperan penting dalam kejatuhan junta.

The Mothers menghadapi pasukan keamanan yang siaga dengan senjata dan anjing pemburu dalam setiap aksi di Plaza de Mayo, di pusat kota Buenos Aires, ibu kota Argentina. Mereka melawan stigma ”komunis” dan ”ibu para teroris” dari penguasa.

Sejak 30 April 1977, setiap Kamis siang, mereka bergandeng tangan mengitari plaza dengan membawa foto anak-anak mereka yang dihilangkan. ”Kami disatukan oleh ingatan dan cinta,” ujar Taty. ”Kalau kami tak membawa masa lalu ke masa sekarang, kebenaran tak bisa diungkap, keadilan tak bisa ditegakkan, dan kami tak bisa membayangkan masa depan bangsa ini.”

Mereka punya tanda khusus yang segera dikenali: penutup kepala dari kain katun putih berbentuk segitiga yang diikatkan ke dagu, bersulam nama anak mereka yang dihilangkan.

”Bentuk segitiga melambangkan popok anak kami ketika masih bayi,” ujar Taty. ”Karena itu, rasanya mereka selalu dalam pelukan kami.”
Tokoh-tokoh dunia, seperti Ny Francois Mitterand, pernah ikut aksi mendukung The Mothers di depan Kedutaan Argentina di Paris. Dukungan juga datang dari Presiden Italia Sandro Pertini dan para tokoh politik di Eropa.

Dua perempuan sepuh itu melakukan perjalanan lintas benua untuk berbagi harapan dengan korban dan keluarga korban kekerasan politik di Indonesia. ”Kami sudah lama bekerja dengan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) untuk melawan impunitas. Indonesia mempunyai kasus-kasus penghilangan yang sama,” ujar Rafael Barca.

Mereka sempat mengikuti aksi ”Kamisan” di depan Istana Negara yang dilakukan rutin oleh para ibu korban dan keluarga mereka sejak dua tahun lalu. ”Kami datang untuk menunjukkan solidaritas, berbagi pengalaman dan harapan, serta keyakinan akan datangnya keadilan. Jangan pernah menyerah,” ujar Taty.

Hak atas kebenaran
Sampai hari ini, ”ritual” di Plaza de Mayo masih berlangsung. The Mothers menuntut hak atas kebenaran; tentang yang sebenarnya terjadi pada anak-anak mereka, mengapa mereka dihilangkan, bagaimana cara mereka tewas, di mana kerangkanya, siapa yang membunuhnya, dan siapa yang memerintahkan.

Beberapa kerangka sudah ditemukan. Kerangka Susana, putri Aurora, ditemukan tahun 1999. Pada 2005, tes DNA dari kerangka dalam kuburan massal yang digali menegaskan identitas Suster Leonie Duquet dari Perancis, pendukung The Mothers, juga identitas tiga tokoh The Mothers: Azucena Villafor, Esther Careaga, dan Maria Eugenia Bianco, yang dihilangkan tahun 1978. Namun, sebagian besar lain tetap teka-teki.
Separuh perjuangan The Mothers ”terbayar” dengan ratifikasi Konvensi Internasional Orang Hilang tahun 2007 di Paris. ”Pemerintah kami sekarang menempatkan hak asasi manusia sebagai politik negara,” kata Taty.

Menurut Rafael Barca, Pemerintah Argentina di bawah Presiden Néstor Kirchner (2003-2007) menghilangkan undang-undang yang mendukung impunitas warisan Presiden Raül Alfonso (1983-1989). Tahun 1986 Alfonso membuat dua UU, yakni law of full stop yang menghentikan pengadilan terhadap pelaku dan law of due obedience yang mengesahkan pemaafan tindakan yang dilakukan atas perintah.

Pecah
Tahun 1986 The Mothers of the Plaza de Mayo pecah meski perpecahan itu tidak mengendurkan perjuangan mereka. ”Yang berbeda hanya pendekatan,” ujar Rafael Barca, ”Spiritnya sama: memperjuangkan keadilan.”

The Mothers of the Plaza de Mayo-Founding Line adalah sayap yang lebih tidak radikal dan memilih berjuang dalam sistem. Mereka berasal dari kelas menengah yang berpendidikan.

Sebaliknya, The Mothers of The Plaza de Mayo Association pimpinan Hebe de Bonafini tetap mengambil garis politik yang keras. Mereka menolak kompensasi apa pun dari pemerintah dan mendapat dukungan kelompok militan yang mendukung revolusi ala Kuba di Argentina. Mereka berasal dari kelas pekerja.

Pada peringatan ke-30 tahun The Mothers, kelompok Hebe de Bonafini tak lagi membawa isu penghilangan dalam aksi setiap Kamis, tetapi mengusung isu-isu sosial lebih luas.

Meski demikian, para perempuan dari dua kelompok itu telah membuktikan ketahanannya dalam perjuangan keadilan dan hak asasi manusia serta keberanian dan kegigihan mempertahankan kehidupan.