Akhir Hak Asasi Manusia

Hawa politik nasional terkini semakin panas. Ketegangan partai pasca-hitungan sementara (quick count) pemilihan legislatif mulai mencerminkan keedanan elite dalam pertarungan kekuasaan. Dari mulai elite sipil hingga mantan jenderal. Tokoh (Megawati) dan partai (PDI Perjuangan) yang sempat menjadi korban represi dan simbol oposisi Soeharto, kini berkolaborasi dengan mantan jenderal Prabowo (Gerindra) dan Wiranto (Hanura), yang dulu menopang kekuasaan Orde Baru. Ajaibnya lagi, kubu dua jenderal berseberangan dan sempat saling mendiskreditkan ini malah bergandengan tangan. Ada apa?

Mereka dulu menolak proses hukum atas pelanggaran hak asasi manusia masa lalu oleh Komnas HAM dan Panitia Khusus DPR Kasus Orang Hilang, namun kini tiba-tiba teriak “HAM rakyat dilanggar, hukum harus ditegakkan”. Para legislator PDIP, yang paling keras saat membahas kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, kini gamang melihat Prabowo dan Wiranto–yang menolak dipanggil Pansus Orang Hilang DPR. Dengan kolaborasi ini, Pansus bubar secara de facto.

Implikasi lebih jauh terhadap agenda penegakan HAM adalah macetnya program legislasi nasional; dari RUU Peradilan Militer, Intelijen, Kamnas, sampai ratifikasi Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court-ICC). Semua terjadi karena kepanikan melihat hitungan sementara. Partai mayoritas Golkar dan PDIP jatuh drastis di bawah keunggulan Partai Demokrat. Ambisi dua partai pimpinan mantan jenderal Prabowo (Gerindra) dan Wiranto (Hanura) ternyata mendapat suara minimalis seperti dialami partai dukungan militer IPKI saat pemilu era demokrasi liberal 1955.

Bedanya, jenderal-jenderal IPKI melahirkan Golkar, sementara mereka dilahirkan oleh pecah kongsi Golkar, dan yang lebih membedakannya adalah tanpa dukungan institusional TNI. Mungkin karena rivalitas politiknya berhadapan juga dengan mantan jenderal, Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih dikenal karena intelektualitasnya.

Elite-elite lama ini panik seolah tak rela kehilangan privilese atau tinggal dalam pinggiran sejarah. Mereka yakin, lewat instrumen demokrasi, mereka bisa menjadi presiden. Atau mungkin percaya, jabatan presiden akan membebaskan dari tuntutan persoalan hak asasi manusia. Benarkah? Inikah akhir dari hak-hak asasi manusia?

Dulu, orang-orang seperti Jenderal Pinochet dan El-Basher juga percaya bahwa jabatannya sebagai presiden adalah kekuasaan sekaligus pelindung dirinya dari tuntutan hukum. Tapi kenyataan bisa berbeda. Pada 4 Maret lalu, Pengadilan Kejahatan Internasional mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hasan al-Basyir sebagai pelaku tak langsung (an indirect co-perpetrator) kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Jaksa ICC semula mengajukan penangkapannya untuk kejahatan genosida. Kejahatan-kejahatan ini juga dilarang dalam hukum nasional Indonesia.

Bisakah seorang presiden dituntut? Bukankah jabatan presiden memiliki kekebalan hukum? Jawabnya jelas, bisa. Statuta ICC tak mengakui kekebalan, sekalipun kepala negara. Resolusi Dewan Keamanan mengikat negara-negara anggota PBB untuk menangkapnya. International Court of Justice, dalam kasus arrest warrant (2002) menegaskan pejabat negara, termasuk kepala negara, tetap bisa dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional tertentu. Kekebalan hukum dibatasi untuk pengadilan nasional suatu negara, demi berjalannya fungsi kenegaraan. Meskipun dalam kasus Australia, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sempat ditangkap otoritas lokal setempat.

Saat mantan Presiden Cile Jenderal Pinochet ditangkap di London, pengadilan tertinggi Inggris (House of Lord) hanya mengakui imunitas Pinochet untuk tindakannya dalam kapasitas resmi (official capacity). Sedangkan tindakannya dalam penyiksaan dan penghilangan paksa aktivis-aktivis Cile adalah kejahatan kemanusiaan. Penangkapan tetap dibenarkan, namun Pinochet dikembalikan ke Cile karena alasan sakit.
Ini semua terobosan. Indonesia akan dipermalukan jika memiliki presiden pelanggar hak asasi manusia. Bukan mustahil jika perintah penangkapan ICC diarahkan ke Indonesia mengingat tak tuntasnya penyidikan atas kejahatan kemanusiaan di dalam negeri.
*
Kembali soal ketegangan elite. Masalah surat suara atau daftar pemilih tetap pemilihan legislatif memang serius dan harus diselesaikan. Tapi protes-protes harus fair, hukum harus ditegakkan demi kebenaran. Presiden tak boleh pasif, tapi partai-partai politik, terutama yang duduk di DPR, juga bertanggung jawab atas kelahiran KPU dan kekisruhan aturan elektoral.

Bagaimana prospek hak asasi manusia ke depan? Apa yang dilakukan aktivis HAM? Hiruk-pikuk keedanan elite dan politik elektoral ini membuat gaung gerakan masyarakat sipil untuk menolak politikus dan partai busuk seolah tak terdengar. Maklum, dukungan dana membuat strategi pemasaran keduanya jauh bertolak belakang, bak penyanyi orkes dangdut keliling dan iklan Indonesian Idol. Satu pihak menyebar iklan dengan TV, bahkan helikopter, sementara satunya lagi menempelkan iklan dengan sagu di halte bus kota.

Nyaris tak terdengar memang beberapa waktu menjelang Pemilihan Legislatif 2009, korban dan aktivis HAM menggelar kongres nasional bertema "Merebut Ruang Politik demi Pemajuan HAM". Kongres itu menegaskan rakyat korban pelanggaran HAM harus menikmati perubahan. Pucuknya pada kepemimpinan politik. Kongres bertekad mematangkan sosialisasi agar rakyat tak memilih pemimpin politik dengan catatan buruk pelanggaran berat HAM.

Esensi gerakan hak asasi ini seolah diperkuat dengan perkembangan HAM dunia seperti cerita Pinochet dan Al-Basyir. Bagaimanapun, perkembangan ini memberi peringatan bahwa salah jika mereka yang berambisi sebagai kandidat pemilihan presiden sekarang berasumsi bahwa jabatan presiden akan melindungi mereka dari tuntutan hukum hak asasi manusia. Perkembangan dunia membawa pesan jelas bahwa seorang presiden tak bebas dari perintah penangkapan.

Saya percaya akan datang waktunya bagi penghukuman para pelanggar HAM. Untuk itu, kita harus maju dan terus memajukan penegakan hak-hak asasi manusia, termasuk lewat Pemilu 2009 dan pemilu-pemilu selanjutnya. Pesan ini barangkali terkesan menjadi utopia. Tapi, meminjam ungkapan Costa Douzinas (2000), akhir dari hak-hak asasi manusia akan tiba persis ketika mereka kehilangan tujuan utopia itu. "The end of human rights comes when they lose their utopian end".*