Hentikan Tindakan Represif

Jakarta, Kompas – Sebagai institusi negara yang memiliki slogan Mengayomi dan Melayani seharusnya Polri lebih mengedepankan cara dialogis dalam menangani berbagai konflik. Hal itu mengemuka dalam pernyataan sikap sejumlah aktivis hak asasi manusia menyikapi penembakan terhadap dua petani warga Desa Sioyong, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, yaitu Ramang Datu Adam dan Safrudin.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, Wilianita Selviana, pekan lalu di Jakarta, mengatakan, kedua petani tersebut tertembak ketika terlibat unjuk rasa menentang pengerukan batu di Sungai Sioyong. Pengerukan itu sebenarnya tidak dibenarkan sebab tak ada izin yang memadai, seperti Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD).

Warga menolak pengerukan sebab membahayakan sistem irigasi warga. Dikhawatirkan aktivitas penggalian itu akan mendorong pergerakan tanah dan pasir ke hilir bendungan. Akibat lebih lanjut adalah pendangkalan hilir sungai dan bendungan. Jalur kendaraan pengangkut juga merusak tanaman warga, seperti kelapa dan durian.

Petani khawatir operasional perusahaan itu akan mengancam 1.000 hektar sawah produktif milik mereka. Masyarakat sebenarnya berupaya membangun komunikasi dengan pihak yang berwenang. Dari upaya itu pada 13 April lalu, tim Teknis dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi III Provinsi Sulawesi Tengah datang dan melihatnya. Tim menyatakan pengerukan harus dihentikan sementara.

Sinung Karto dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menuturkan, meskipun polisi membiayai pengobatan kedua petani tersebut, korban tetap akan meneruskan kasus itu. Polisi diminta tak lagi menggunakan kekerasan saat menghadapi warga. (jos)