Tiga Capres Abaikan HAM Masa Lalu

Jakarta – Debat perdana Capres yang digelar KPU dengan tema ‘Good Governance dan Supremasi Hukum’ dikritisi oleh 40 LSM yang tergabung dalam komunitas Ornop. Mereka menilai dari telaah HAM menunjukkan bahwa ketiga Capres (Mega, SBY, JK) tidak menunjukkan keinginan dan upaya serius untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu. Hal ini terlihat dari pernyataan ketiganya, yang lebih memilih pendekatan rekonsiliasi atas nama persatuan. Khusus pernyataan SBY menyebutkan bahwa 5 tahun di masa pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada seperti kasus Lapindo.

Demikian kesimpulan Ornop yang disampaikan kepada pers di Jakarta, Jumat (19/6), yang diwakili Danang Widoyoko (ICW), Usman Hamid (Kontras) dan Bustar Maitar (Greenpeace). Komunitas Ornop terdiri dari ICW, Kontras, Imparsial, YLKI, Greenpeace, Walhi, Jatam, PBHI, Kiara, Cappa, DPN, IGJ, Sawit Watch, KP.SHK, PADI, Kemitraan, ICEL, KPA, Institut Hijau, KAU, AMAN, SPI, Ecological Justice, SP, Serikat Petani Kelapa Sawit, Wanacala, Pillar, Kanopi, YMD, KNTI, SBIB, Scale Up, IGJ, SHI, Eknas Walhi,  JKPP, Yappika, LIMA, Sarekat Hijau, CSF, Walhi Jakarta, HUMA.

Ornop menilai, pada telaah aspek lingkungan hidup, terlihat jelas bahwa SBY maupun JK akan meneruskan model pengerukan sumberdaya alam seperti yang dijalankan dalam 5 tahun terakhir. SBY dan JK memaknai good governance dan penegakan hukum hanya dalam kerangka melanggengkan kegiatan investasi, sekaligus mengesampingkan agenda pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada setiap warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali.

Khusus dalam kasus kejahatan Lapindo, lanjutnya, pernyataan demi pernyataan yang disampaikan oleh SBY dan Megawati yang cenderung menyalahkan korban, menunjukkan keduanya tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta pentingnnya institusi negara dalam menjamin perlindungan terhadap warga negara.

Hal lainnya, SBY dan JK  bersepakat bahwa penyebab terjadinya semburan lumpur panas  adalah PT. Lapindo. Tentu ini menjadi sebuah signal baik untuk mendesak tanggung-jawab mutlak Lapindo. Hanya saja, SBY terlihat inkonsisten dengan pernyataannya tersebut, karena masih memasukkan unsur pemerintah untuk menanggung tanggung-jawab Lapindo sebagai penyebab masalah. Hal ini sekaligus menegaskan kepada publik, bahwa ada upaya untuk melindungi korporasi lepas dari tanggung jawabnya. Sedang Mega, terkesan tidak ingin mengambil resiko dengan tragedy Lapindo, dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat prosedural.

Dalam hal penentuan prioritas anggaran, Megawati memberikan keleluasaan TNI untuk menyusun anggaran. SBY menyatakan akan menaikkan anggaran bagi TNI secara bertahap hingga Rp 120 triliun. JK menyatakan efisiensi anggaran dan memfokuskan pada pemeliharaan alutsista dan kesejahteraan militer. Ketiganya alpa memperkarakan aspek pemerataan dan keadilan ditubuh TNI. Karena fakta menunjukkan bahwa di level petinggi TNI telah memiliki banyak kemewahan. Berbeda dengan ditingkatan prajurit yang memang masih memiliki banyak keterbatasan.

Terkait buruh migran, ketiga Capres terbukti mensimplifikasi permasalahan, dengan mengkanalisasi masalah buruh migran pada aspek teknis di dalam negeri. Seyogyanya penyelesaian masalah buruh migrant lebih kompleks dari hal tersebut. Tidak disentuhnya permasalahan mendasar mengapa sampai terjadi “pembludakan” pengiriman TKI ke luar negeri—oleh ketiga Capres sebagai landas argumentasinya. Semisal, ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri dan semakin hilangnya basis produksi rakyat yang dikuasai oleh korporasi.

“Ketiga Capres juga tidak memiliki perspektif keadilan gender yang kuat. Hal ini terlihat pada contoh-contoh kasus yang diajukan terkait buruh migran. Dalam permasalahan TKI, dimana sebagian besar kasus penyiksaan dialami oleh tenaga kerja perempuan, pendekatan dan strategi yang disampaikan oleh para Capres sama sekali tidak menyentuh aspek keadilan gender,” papar Ornop.

Dalam mewujudkan pemerintahan bersih, ketiga Capres memiliki pemahaman dan argumentasi yang sangat sempit, dengan menyebutkan bahwa akar masalahnya adalah pada tingkat kesejahteraan aparatur negara (pegawai negeri sipil dan prajurit) sehingga terjadi pungli dan layanan yang lambat. Padahal fakta mengemuka hari ini, praktek korupsi justru dilakukan oleh mereka yang memiliki gaji besar dan jabatan yang tinggi. “Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional bangsa Indonesia mengalami krisis keteladanan dimana para pemimpin tidak menunjukkan contoh dan konsistensi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih,” tambahnya. (ARI)