Dicari,Presiden Penegak HAM!


Dicari, Presiden Penegak HAM!

Hak asasi manusia (HAM) mengemuka sebagai tema penutup acara debat capres putaran pertama mengenai “tata-kelola pemerintahan yang baik dan supremasi hukum”, 18 Juni lalu.

Meski jawaban tiga capres tak memuaskan, kita mengapresiasi masuknya tema itu sebagai suatu tantangan bangsa yang harus dijawab pemimpin pemerintahan. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan selaku moderator seolah hendak menutup acara itu dengan sebuah harapan bahwa kita tak boleh lupa pada masa lalu.Bahwa segala mimpi perubahan masa depan para capres bila terpilih, perlu diikuti komitmen untuk memberi jawaban keadilan pada tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Pilihan tema “pelanggaran HAM masa lalu” adalah pilihan yang cerdas, tegas, dan bijaksana. Sebab pelanggaran HAM masa lalu adalah refleksi atas berbagai persoalan HAM yang luas,mulai dari rumpun hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya hingga hak atas pembangunan,orang adat, sumber daya alam dan lingkungan. Tidak terkecuali persoalan kekerasan sebagai akibat ketegangan hubungan negara,agama dan ideologi politik.

Moderator seolah meningkatkan diskursus HAM dalam “debat” capres dari yang dulu sebatas kerangka pemajuan HAM (promotion) kini menyentuh tema akuntabilitas (protection).Tema ini pun jelas berhubungan dengan tema debat mengenai pemerintahan yang baik dan supremasi hukum.

Pengalaman masa lalu mengajarkan kita bahwa kekerasan pelanggaran HAM terjadi akibat dari pemerintahan yang korup. Di dalam suasana itu pula sistem peradilan yang idealnya bertugas menegakkan hukum malah menjadi instrumen kekuasaan. Dengan ini moderator menempatkan pertanyaan pelanggaran HAM masa lalu sebagai jantungnya.

*** Bagaimana jawaban capres dalam debat lalu? Sebagai orang yang ditanya pertama, capres SBY menjelaskan tak semua kasus bisa diselesaikan dengan justice.Dalam kaitan tersebut, pendekatan rekonsiliasi adalah pilihan. Lalu dia memberi contoh penyelesaian kasus Timor Timur sambil menyatakan menolak pengadilan internasional dan menutup perkara ini lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Menurut SBY langkah ini dinilai berhasil mengakhiri problem di kedua negara.

Karena itu, menurutnya, langkah serupa akan diterapkan dengan pendekatan truth (kebenaran) dan reconciliation( rekonsiliasi). Penanggap kedua, capres JK yang diminta menanggapi jawaban SBY menyatakan setuju dengan pandangan capres SBY.Di luar itu, JK bahkan menyatakan bahwa hukum tidak berlaku surut/retroaktif. JK mensyaratkan adanya bukti hukum yang kuat untuk dibawa kasus pelanggaran berat HAM ke pengadilan.Hukum tidak boleh berlaku surut atau retroaktif.

Di sini capres JK menghimbau untuk tidak melihat ke belakang dengan suatu ilustrasi agar kita tidak melihat kaca spion terus. Sebab itu tak akan membuat kita mampu melangkah atau bergerak ke depan. Sementara penanggap ketiga, capres Megawati mengamini saja apa yang menjadi pendapat kedua kompetitornya itu.Tak ada kontraargumen. Megawati menekankan bahwa HAM tidak boleh hanya untuk kepentingan individu,tapi utamanya harus untuk kepentingan bangsa.

Megawati lalu mengakui bahwa dirinya adalah victim (korban), tetapi dirinya tak menuntut secara hukum dan itu dilakukannya demi kepentingan persatuan. Bagaimana kita menilai esensi paparan di atas? Dari pemberitaan media massa,banyak kalangan tak puas atas proses dan substansi debat.Pandangan dalam artikel ini memiliki penilaian serupa namun sekaligus mencoba melampaui ketidakpuasan tersebut dengan memberi penilaian yang difokuskan pada hak asasi manusia, khususnya pelanggaran HAM masa lalu.

Capres SBY dan JK memiliki nilai rata-rata.Mungkin karena keduanya sama-sama duduk di pemerintahan yang sama dan belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu baik melalui penuntutan di pengadilan maupun melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Capres Megawati terlihat kurang mengimbanginya dengan kontra argumen.Publik malah jadi kesulitan melihat perbedaan berarti antara mereka. Megawati sebenarnya punya kesempatan untuk menunjukkan dirinya adalah kontestan yang sungguh berbeda.

Mengingat pada masa pemerintahan Soeharto,Megawati menjadi salah satu simbol perlawanan sekaligus menjadi korban dari represi orde baru. Namun sayang, spirit tersebut tidak muncul. Hal ini pun terlihat dalam paparan awal mengenai visi misi seorang capres. Secara kontras capres SBY menyebut hak asasi manusia, melengkapi tema utama debat,yakni “pemerintahan yang baik dan supremasi hukum”.

Tema HAM beberapa kali disebutkan meski pandangan HAM-nya kerap menunjukkan ambiguitas. Yang paling jelas adalah hubungan antara supremasi hukum dan pelanggaran HAM masa lalu. Penjelasan ini mengingatkan publik akan sifat SBY yang kerap dinilai kurang tegas. Padahal dalam debat cawapres 23 Juni lalu, Boediono mengangkat HAM sebagai elemen dalam jati diri bangsa.

Di situ, dia memaparkan pentingnya keadilan bersama, yakni di mana semua orang merasa mendapat kesempatan yang sama seperti prinsip konstitusionalisme, perlindungan HAM, reformasi sektor hukum, dan kebudayaan. Rumusan ini sudah baik,tapi harus diikuti dengan contoh konkret. Persoalan kita bukan bagaimana merumuskan konsep normatif, karena itu sudah ada di konstitusi, melainkan bagaimana menjawab persoalan aktual seperti diilustrasikanlayar acara debat seputar konflik sosial serta hubungan agama dan politik.

*** Dalam debat capres, ada kesan semua ingin tegas menegakkan hukum dan dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu itu berarti pilihan penuntutan yudisial. Namun saat dihadapkan pertanyaan pelanggaran HAM masa lalu cenderung buru-buru mengatakan rekonsiliasi sebagai pilihan, suatu pendekatan nonyudisial.

Ada tidaknya risiko politik pemaafan sehingga harus ada amnesti atau karena faktor tertentu lalu pemaafan menjadi pilihan, ini seharusnya tak menegasikan pentingnya menegakan suatu supremasi hukum. Inklinasi yang ada, masih menjauhkan mimpi keadilan korban pelanggaran HAM dari harapan kenyataan. Nah,sejak Reformasi 1998 bergulir, berbagai warisan sistem kekuasaan masa lalu itu hendak dibenahi. Sayangnya, suasana yang terjadi adalah situasi impunitas.

Terjadi suatu ketidakmungkinan secara de facto dan de jure untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu karena orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu tak diperhadapkan sebagai subjek di muka penyidikan hukum administratif, perdata maupun pidana. Memang tak mudah. Negaranegara Amerika Latin yang pernah mengalami rezim militer telah mengalami dilema antara menghukum atau memaafkan kejahatan- kejahatan masa lalu itu.

Ada risiko instabilitas politik dan keamanan bila proses penuntutan dilakukan terhadap orang yang berpengaruh karena pernah berkuasa di masa lalu, tetapi juga ada risiko masa depan karena absennya penghukuman justru membuka potensi keberulangan. Dengan dilema ini,kita bisa menyimak hasil studi tentang prinsipprinsip memerangi praktik impunitas oleh seorang ahli independen dan juga seorang Pelapor Khusus PBB Louis Joinet pada 1997.

Studi berjudul the Set of Principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity ini dikembangkan oleh Diane Orentlicher yang menggantikan Louis Joinet sebagai special rapporteur on impunitydengan merevisi dan memperbaharui prinsipprinsip memerangi praktik impunitas tersebut pada 2005.

Prinsip-prinsip ini kemudian lebih dikenal sebagai prinsipprinsip anti-impunitas atau keadilan bagi korban.Studi ini merumuskan dengan lengkap prinsip hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas pemulihan bagi seorang korban pelanggaran HAM. Akhir kata, agar tak ambigu, bila setuju pada penegakan supremasi hukum, siapa pun harus berani menegakan supremasi hukum tanpa mengesampingkannya dengan rekonsiliasi atau pemaafan.

Lima tahun ke depan,memang harus ada jaminan mencegah berulangnya pelanggaran HAM berat seperti di masa lalu (crimes against humanity,genocide).Namun jaminan ini bisa rapuh.Bagi saya,sejauh tak ada keadilan dan akuntabilitas, gangguan kekerasan politik atau pelanggaran berat HAM bisa terulang.(*)

Usman Hamid
Koordinator Kontras