Penyiksaan Belum Jadi Prioritas Aturan Hukum di Indonesia

Satudunia. Jakarta-Ratusan orang yang mengatasnamakan diri Jaringan Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI) melakukan aksi damai di Bunderan Hotel Indonesia (HI) Jumat kemarin (26/6). Aksi tersebut dilakukan untuk memperingati hari anti penyiksaan sedunia.

Dengan mengenakan kaos hitam, menyalakan lilin dan memegang huruf-huruf yang bertuliskan “Hapuskan Penyiksaan”, beberapa dari mereka duduk dan berdiri menyanyikan sebuah lagu-lagu sambil melakukan orasi. Aksi yang berlangsung selama dua jam ini berjalan dengan damai.
Kaos hitam dan lilin yang menyala merupakan sebuah simbol keprihatinan atas masih terjadinya penyiksaan di Indonesia. Banyak korban terjadi dan dialami oleh kaum minoritas baik secara keagamaan, etnik maupun paham politik, kaum miskin kota, nelayan, buruh, lesbian, gay, biseksual, transgender dan pemakai narkoba. Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami penyiksaan.

Dalam siaran persnya JAPI menyebutkan, penyiksaan adalah ibu dari segala pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Mulai dari pembunuhan ekstra yudisial hingga penyangkalan hak atas peradilan. Padahal indonesia sudah meratifikasi UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Namun pemerintah belum menggangap penyiksaan sebagai kejahatan dibawah hukum Indonesia.

Selain itu, Opcat (Protokol optional konvensi menentang penyiksaan) yang salah satu mandatnya mengenalkan mekanisme preventif nasional yang dijanjikan akan diratifikasi 2008 ini pun tak kunjung diratifikasi.

Sebelas tahun lamanya sejak UU No. 5 tahun 1998 yang mengamanatkan agar adanya implementasi aturan hukum mengenai penyiksaan belum kunjung dilakukan oleh DPR. “Belum menjadi prioritasnya aturan hukum mengenai penyiksaan merupakan bukti bahwa pemerintah hingga kini tidak memiliki goodwill untuk segera meratifikasi Opcat maupun aturan implementasi mengenai penyiksaan,” ujar Putri, salah satu peserta aksi. “Bahkan harapan pasal penyiksaan yang masuk dalam usulan revisi RUU KUHP belum kunjung disahkan,” lanjutnya, disela-sela aksi.

Dalam RUU KUHP yang kini sedang digodog oleh DPR hanya mencantumkan pasal mengenai penganiayaan bukan penyiksaan. Esensi penyiksaan dan penganiayaan merupakan dua hal yang berbeda. “Penyiksaan lebih pada kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sedangkan penganiayaan merupakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara,” tambah pegiat KontraS ini.

“Kita mendesak DPR untuk segera meratifikasi Opcat dan pengesahan RUU KUHP,” desak Sugiharto, Koordinator JAPI. Karena jika tidak melakukan langkah tersebut, itu merupakan sebuah kegagalan pemerintah dan DPR, dan menambah daftar panjang penyiksaan yang terjadi di Indonesia.