hak asasi manusia
Merawat Ingatan

Perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa terasa cukup melelahkan bagi Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin. Namun, rasa lelah itu menguap ketika berhadapan dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah.

Saya merasa ada benang halus yang menghubungkan kami, bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai sesama warga negara yang dilanggar hak-haknya, ujar Ny Sumarsih. Saya tidak pernah merasa lelah kalau menyangkut soal keadilan, sambung Ny Tuti Koto.

Ny Sumarsih (56) adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu Wawan tengah menjalankan tugas kemanusiaannya di dalam Kampus Universitas Atma Jaya.

Ny Tuti Koto (71) adalah ibu dari Yani Afri, korban penculikan aktivis tahun 1997. Ny Ruyati Darwin (63) adalah ibu dari Eten Karyana, guru bahasa Inggris yang tak berhasil lolos dari kobaran api saat mencoba menyelamatkan anak-anak di dalam bangunan Toserba Yogya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Merawat ingatan

Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin adalah tiga dari 16 anggota rombongan yang dipimpin Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat selama sepekan sejak 1 Juli.

Selain tiga ibu itu, ikut dalam rombongan itu antara lain Yetty, mewakili keluarga korban Tanjung Priok, 1984; Bejo Untung, mewakili korban tragedi 1965; serta Tanto, pedagang kaki lima, mewakili korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bagi mereka, perjalanan menemui para korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM di beberapa daerah itu adalah perjalanan untuk menjaring harapan dan merawat ingatan.

Sebagai perempuan, mereka menyadari posisinya sebagai korban terdepan dari berbagai peristiwa kekerasan. Sebagai ibu, mereka memiliki pengalaman otentik terkait dengan rasa kehilangan anak-anak mereka dalam suatu peristiwa politik.

Pengalaman khas perempuan mulai dari hamil, melahirkan, merawat, mendidik, dan seluruh cinta yang dicurahkan untuk merawat kehidupan, akan menghubungkannya dengan perempuan lain yang memiliki pengalaman serupa untuk kasus-kasus pelanggaran yang berbeda.

Saya tahu, banyak orang mengalami pelupaan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, ujar Ny Sumarsih. Tetapi itu selalu bisa diatasi. Apalagi pelanggaran terus terjadi menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, lanjutnya.

Dalam perjalanan itu, rombongan berhenti di Batang, Semarang, Pati, Kulon Progo, Porong, Surabaya, Malang, dan Indramayu, menemui kelompok-kelompok petani korban perampasan tanah, kelompok miskin kota, korban penggusuran, korban PHK, korban eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, keluarga korban penghilangan, dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Merebut ruang

Pertemuan dengan para korban pelanggaran HAM di sejumlah daerah itu, menurut Usman Hamid, merupakan tindak lanjut dari Kongres Pejuang HAM yang bertema Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM di Jakarta, 17-20 Maret 2009.

Usman mengingatkan, kekerasan terhadap warga negara cenderung tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM tak terwujud. Korban pelanggaran HAM tetap terpinggirkan.

Forum itu merupakan wujud keprihatinan terhadap komunitas korban yang terus berada di tepi arena politik, ujar Usman. Mereka tak mampu menerobos ruang-ruang politik formal untuk membuka kebenaran versi korban, lanjutnya.

Ruang itu dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan dan menjadikan Pemilu 2009 sebagai resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Namun, pemilu tak menjamin keadilan bagi korban dapat digapai, sementara pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin masif terjadi pada zaman liberalisasi ekonomi ini. Kongres itu menguakkan fakta mengapa kekayaan alam di suatu daerah tidak menyejahterakan rakyat, sebaliknya, justru terjadi pengambilalihan hak kepemilikan tanah warga dan sumber daya komunitas oleh pihak lain.

Upaya menemui para korban di daerah-daerah itu juga dapat dilihat sebagai upaya merebut memori kolektif atas pelanggaran yang telah terjadi untuk menajamkan persepsi terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Namun, keberadaan memori kolektif juga dipertanyakan. Dalam diskusi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, Agung Yudha dari Elsam mempertanyakan apakah memori kolektif tentang pelanggaran masa lalu itu telah terbangun atau hanya merupakan memori kolektif korban.

Kalau benar ada, mengapa upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu selalu menemui jalan buntu, ujarnya.

Usman Hamid mengatakan, pertarungan antara memori melawan amnesia terjadi lebih pada tingkat diskursus publik serta perebutan akses kekuasaan politik. Namun, memori tentang peristiwa itu tak pernah mati dalam diri korban dan keluarganya serta komunitas yang langsung mengalaminya.

Diingatkan, respons negara membuat korban tak pernah menjadi kekuatan penekan yang efektif. Pelanggaran masa lalu banyak dianggap sebagai kasus, bukan lembaran utuh. Korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik juga dibedakan dari korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, padahal semuanya berkait dan berkelindan.

Kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat dari berbagai pelanggaran itu, ujarnya.

Usman juga mengingatkan, semua pelanggaran masa lalu memiliki relevansi dengan kekinian dan oleh karena itu membutuhkan taktik perjuangan yang lebih strategis untuk menghadapinya.

Peristiwa 65 terkait dengan kasus tanah, peristiwa Talangsari punya relevansi dengan perebutan sumber daya alam di Aceh, Papua, dan lain-lain. Peristiwa Tanjung Priok terkait dengan sekuritisasi untuk mengamankan agenda-agenda pembangunan, ujarnya. (MARIA HARTININGSIH)