Kontras Minta Polisi Selesaikan Kekerasan di Papua

TEMPO Interaktif, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Kepolisian untuk mengusut dan mengungkap kasus-kasus kekerasan di Papua. TNI diminta unt uk tidak cepat menyimpulkan bahwa itu adalah gerakan separatis.

"Polisi harus menyelesaikan kasus-kasus itu tanpa melibatkan tudingan dari TNI terhadap Organisasi Papua Merdeka," kata Koordinator Kontras Usman Hamid melalui sambungan telepon, Rabu (15/7) malam.

Menurut Usman, kasus-kasus kekerasan yang melibatkan senjata api tidak bisa didiamkan. Selain TNI dan polisi, lanjut Usman, senjata api juga bisa digunakan oleh intelijen sipil BIN. "Hingga saat ini belum ada kontrol senjata api. Peredaran senjata api begitu mudah sekarang," ujarnya.

Usman menyatakan eskalasi kekerasan di Papua meningkat sejak pemilihan legislatif April lalu, di antaranya pembakaran bus karyawan PT Freeport 8 Juli, penembakan yang menyebabkan warga Australia Drew Nicholas Grant meninggal pada 11 Juli, hingga penembakan lima anggota Brimob 15 Juli di Timika.

Menurut Usman, banyak kemungkinan yang bisa terjadi di sana. Pertama adalah rivalitas TNI dan Kepolisian dalam bisnis keamanan, terutama yang menyangkut PT Freeport. Kedua, untuk menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menjaga keamanan Papua.

"Kemungkinan lain, ini adalah pengalihan isu yang dilakukan rezim SBY karena tengah dicecar soal DPT (daftar pemilih tetap)," kata dia. Menurut Usman, pola ini banyak terjadi pada masa Orde Baru ketika Soeharto berkuasa.

Di luar kemungkinan-kemungkinan motif itu, lanjut Usman, yang paling penting adalah pengusutan dan pengungkapan kasus-kasus kekerasan yang meningkat.

"Presiden seharusnya menegaskan yang punya wewenang adalah polisi dan meminta TNI tidak mengeluarkan pernyataan pelakunya adalah gerakan separatis," kata dia.

Kontras Minta Polisi Selesaikan Kekerasan di Papua

TEMPO Interaktif, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Kepolisian untuk mengusut dan mengungkap kasus-kasus kekerasan di Papua. TNI diminta untuk tidak cepat menyimpulkan bahwa itu adalah gerakan separatis.

"Polisi harus menyelesaikan kasus-kasus itu tanpa melibatkan tudingan dari TNI terhadap Organisasi Papua Merdeka," kata Koordinator Kontras Usman Hamid melalui sambungan telepon, Rabu (15/7) malam.

Menurut Usman, kasus-kasus kekerasan yang melibatkan senjata api tidak bisa didiamkan. Selain TNI dan polisi, lanjut Usman, senjata api juga bisa digunakan oleh intelijen sipil BIN. "Hingga saat ini belum ada kontrol senjata api. Peredaran senjata api begitu mudah sekarang," ujarnya.

Usman menyatakan eskalasi kekerasan di Papua meningkat sejak pemilihan legislatif April lalu, di antaranya pembakaran bus karyawan PT Freeport 8 Juli, penembakan yang menyebabkan warga Australia Drew Nicholas Grant meninggal pada 11 Juli, hingga penembakan lima anggota Brimob 15 Juli di Timika.

Menurut Usman, banyak kemungkinan yang bisa terjadi di sana. Pertama adalah rivalitas TNI dan Kepolisian dalam bisnis keamanan, terutama yang menyangkut PT Freeport. Kedua, untuk menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menjaga keamanan Papua.

"Kemungkinan lain, ini adalah pengalihan isu yang dilakukan rezim SBY karena tengah dicecar soal DPT (daftar pemilih tetap)," kata dia. Menurut Usman, pola ini banyak terjadi pada masa Orde Baru ketika Soeharto berkuasa.

Di luar kemungkinan-kemungkinan motif itu, lanjut Usman, yang paling penting adalah pengusutan dan pengungkapan kasus-kasus kekerasan yang meningkat.

"Presiden seharusnya menegaskan yang punya wewenang adalah polisi dan meminta TNI tidak mengeluarkan pernyataan pelakunya adalah gerakan separatis," kata dia.

TITO SIANIPAR