PAPUA
Paradigma Konflik Harus Ditinggalkan

Jakarta, Kompas – Berbagai persoalan di Papua tak akan dapat dituntaskan jika paradigma bahwa Papua adalah wilayah konflik tidak ditinggalkan. Sikap dan cara pandang yang melihat Papua sebagai wilayah yang tidak aman dan penuh konflik justru akan mengaburkan persoalan dasar di Papua, yaitu ketidakadilan ekonomi, sosial, dan budaya, rendahnya mutu pelayanan publik serta kesejahteraan warga.

Demikian mengemuka pada jumpa pers, Rabu (15/7) di Kantor Kontras, Jakarta. Hadir dalam jumpa pers itu di antaranya Koordinator Kontras Usman Hamid, Siti Maemunah (Jaringan Tambang), serta Berry N Furqon (Walhi).

Menurut mereka, paradigma konflik separatisme yang terus dikembangkan di Papua hanya menjadi bagian untuk memelihara ketidakadilan bagi rakyat Papua. Stigmatisasi gerakan Organisasi Papua Merdeka atau kelompok bersenjata nyaris dilekatkan begitu saja tanpa melalui proses hukum yang transparan dan tuntas. Akibatnya, setiap pernyataan diri dan tuntutan warga Papua atas berbagai persoalan ketidakadilan yang mereka alami kerap dianggap sebagai gerakan separatis.

Padahal, banyak kasus yang akhir-akhir ini terjadi tidak seluruhnya memiliki motif politik. Insiden penembakan Melkias Agapa di Nabire pada akhir Juni lalu, misalnya, lebih ditengarai sebagai ketidakprofesionalan polisi dalam penanganan kasus yang terjadi. Melkias, yang tengah menderita malaria tropika, tewas setelah sebutir peluru polisi menembus pahanya.

Demikian juga dengan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di sekitar wilayah konsesi tambang PT Freeport. Ketidakoptimalan pemerintah mengurus kehadiran perusahaan tambang dinilai menjadi akar munculnya kekerasan di wilayah Timika dan sekitarnya. Sebaliknya, operasi pengamanan di sekitar tambang menjadi ”dagangan”.

Mengutip data laporan PT Freeport kepada Security Exchange Commission di Amerika Serikat dan kemudian dirilis oleh International Network for Economic, Social & Cultural Rights, Consultation on Human Rights and The Extractive Industry, di Geneva, November 2005, Usman Hamid menyebutkan, pada tahun 2001 perusahaan itu mengucurkan dana bagi TNI sebesar 4-6 juta dollar AS. Jumlahnya naik menjadi 5,9 juta dollar AS pada tahun 2002.

Agustus 2004 pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres Nomor 63 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Dalam keppres itu tugas pengamanan obyek vital nasional diserahkan kepada polisi dan pengamanan internal obyek bersangkutan, kecuali obyek yang termasuk dalam bagian organik atau termasuk dalam lingkungan TNI.

Berry N Furqon mengatakan, konsekuensi dari besarnya arus modal di Papua, terutama dalam akses pada sumber daya alam, menggerakkan banyak kelompok untuk memperkuat posisi masing-masing yang salah satu dampaknya adalah ketidakadilan ekonomi dan sosial warga. (JOS)