8 Warga Ditangkap

Timika, Kompas – Polisi menangkap delapan warga Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (20/7) sore. Penangkapan itu diduga terkait dengan upaya polisi mengusut rentetan kasus pembakaran bus dan kasus penembakan yang terjadi di areal PT Freeport Indonesia sejak 8 Juli lalu.

Enam warga ditangkap di Wowor, Kwamki Baru, Distrik Mimika Baru. Dua warga lain, Victor Beanal dan Jonas Uwamang, ditangkap di rumah yang ditempati Jonas di sudut pertigaan Jalan Yos Sudarso dan Jalan Trikora. Victor Beanal adalah Kepala Suku Tsinga dan Jonas Uwamang adalah Kepala Suku Weya.

Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal FX Bagus Ekodanto ketika dihubungi di Timika, Senin malam, menyatakan, penangkapan delapan orang itu terkait sejumlah peristiwa kriminal di Mimika. Namun, ia menolak menjelaskan kasus apa yang dijadikan dasar penangkapan. ”Kami akan memberikan penjelasan, Selasa pukul 09.00 WIT, melalui keterangan pers di Mapolres,” katanya. Ia belum mengumumkan identitas warga.

Atina Uwamang, menantu Jonas, memaparkan, penangkapan terjadi ketika Jonas dan Victor sedang membicarakan rencana perkawinan kerabat mereka. Polisi datang menangkap keduanya tanpa memberikan surat penangkapan.

Sejumlah wartawan yang mencoba mencari konfirmasi di Mapolres Mimika tidak diperkenankan memasuki halaman Mapolres.

Sepanjang Juli terjadi sejumlah kasus kekerasan di areal PT Freeport Indonesia (PT FI), yaitu pembakaran sejumlah kendaraan operasional PT FI pada 8 Juli dan rentetan kasus penembakan yang dimulai pada 11 Juli. Penembakan itu menewaskan tiga korban. Polisi menyatakan, pelaku pembakaran maupun penembakan adalah kelompok orang terlatih.

Direktur Hubungan Eksternal Imparsial Poengky Indarti meminta polisi konsisten dengan pernyataan awal mereka bahwa pelaku penembakan adalah kelompok terlatih. ”Polisi harus berhati-hati melakukan penangkapan. Jangan sampai polisi menangkap masyarakat sipil yang tidak bersalah,” kata Poengky.

Ia menyatakan, penyidikan kasus penembakan di Mile 62-63 PT FI tahun 2002 berjalan tidak adil dan merugikan para terpidana kasus itu.

Di Jakarta, Alam dari Divisi Sospolhukham Kontras menyatakan, dalam penyelidikan dan penyidikan kasus penembakan di PT FI, polisi diharapkan bekerja secara profesional dan tidak terbawa pada opini yang sebelumnya digembar-gemborkan bahwa pelaku diduga terkait dengan Organisasi Papua Merdeka. Proses penegakan hukum harus tetap berpegang pada prinsip yang menjunjung hak asasi manusia.

Sektor informal lesu

Teror penembakan membuat PT Freeport Indonesia sejak Selasa pekan lalu melarang para pekerjanya pergi menuju atau meninggalkan Tembagapura. Akibatnya, sektor perekonomian informal, seperti toko emas, warung makan, usaha ojek, dan taksi carteran di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, lesu.

Hingga Senin, PT FI belum mengizinkan para pekerjanya pergi menuju atau meninggalkan Tembagapura, kawasan permukiman dan perkantoran PT FI.

Hal itu selain membuat ribuan pekerja tertahan di Tembagapura, ratusan hingga ribuan pendulang yang biasa mendulang emas dari tailing PT FI juga tertahan di kawasan Tembagapura, Kampung Banti, dan sekitarnya. Hal tersebut membuat bisnis pembelian emas di Timika lesu.

Salah satu pedagang emas di Jalan Ahmad Yani Timika, Mustafa (57), menuturkan, teror penembakan memperparah kelesuan akibat penurunan harga emas. ”Sebulan lalu keuntungan kami Rp 1 juta per hari. Sekitar dua pekan lalu, bisnis mulai melesu, hanya sekitar 50 gram per hari. Sejak terjadi penembakan pekan lalu, keadaan makin sulit. Emas yang bisa dibeli hanya sekitar 20 gram per hari,” kata Mustafa.

Pendapatan tukang ojek turun dari sekitar Rp 100.000 per hari menjadi sekitar Rp 30.000. (JOS/ROW)