TNI Didesak Tidak Terlibat Tanggulangi Teror

TEMPO Interaktif, Jakarta – Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil mendesak Tentara Nasional Indonesia tidak dilibatkan dalam penanggulangan terorisme. Alasannya, masuknya TNI dalam operasi anti terorisme justru akan mengakibatkan tumpang tindih dengan fungsi dan kerja kepolisian.

"Ini akan merusak proses penegakan hukum," kata Bhatara Ibnu Reza, Peneliti Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor dalam jumpa pers di Kantor Imparsial, Jumat (7/8).

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengintruksikan TNI agar ikut terlibat dalam penanggulangan terorisme melalui pemaksimalan kerja struktur komando teritorial saat pidato sesaat meledaknya bom Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada Jumat (17/7).

Menurut Bhatara, jika TNI dilibatkan maka akan menimbulkan masalah serius dalam proses reformasi TNI. Dia melanjutkan, penanganan terorisme merupakan bagian dari penegakan hukum sehingga tidak dibenarkan TNI dilibatkan. Meski dalam Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, bahwa TNI bisa menjalankan tugas operasi militer selain perang. "Namun perlu pengaturan yang lebih rinci pembagian tugas dan batasan TNI dalam keterlibatan melawan terorisme," ujarnya.

Tanpa penjelasan itu, Bhatara melanjutkan, akan menimbulkan tafsir sepihak oleh aparat TNI di lapangan. Dia mencontohkan, beberapa kasus yang menunjukkan keterlibatan TNI dalam kerangka penegakan hukum dengan melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga pelaku teror.

Koordinator Kontras, Usman Hamid mengatakan, masuknya TNI dalam pengejaran terorisme justru akan mengancam sistem penegakan hukum di Indonesia. "TNI tidak dilatih dalam proses penyelidikan dan penyidikan sistemnya berbeda dengan kepolisian," katanya. Dia mencontohkan dalam pemeriksaan TNI menggunakan sistem tertutup dan sistem atas ke bawah. "Ini akan mengancam kebebasan masyarakat sipil," katanya. Apalagi, kata dia, Kultur kekerasan itu kental dengan tradisi militer akan mengancam penegakan hak asasi manusia.

Usman mengingatkan, bahwa dalam penanggulangan terorisme ini tetap dipegang polisi sedangkan TNI hanya sebagai pembantuan. "Seharusnya keterlibatan TNI hanya dalam pembantuan dan bersifat limitatif," katanya. Sehingga, dia mendesak presiden mengeluarkan instruksi secara tertulis berkaitan hal tersebut dengan rinci pembagian tugas dan kewenangan. "Tidak hanya pernyataan yang bisa ditafsirkan macam-macam."

Aktivis Imparsial, Al Araf menegaskan aturan main yang jelas itu penting semacam rule of conduct. "Jika tidak ada aturan yang jelas, justru akan mengembalikan hegemoni yang kuat oleh militer. Akan susah dikontrol," katanya.

Aktivis Elsam, Amirruddin menyatakan seharusnya pemerintah memperbaiki sistem itu tidak kondisional. Ketika ada kejadian, kata dia, mendadak dibuat sistem baru yang justru akan mengacaukan tugas dan kewenangan institusi negara. "Kalau memang polisi dan densus 88 dianggap belum efektif yang ditambah personelnya. Bukan dengan menambah kewenangan instuitusi lain yang justru akan memperparah sistem itu," katanya.

EKO ARI WIBOWO