Penyelesaian Pelanggaran HAM Terganjal Issu Politik

DENPASAR – Penyelesaian hukum masalah pelanggaran HAM berat dimasa lalu masih terganjal oleh issu-issu politik. Padahal kata anggota Komnas HAM Ifdhal Kasim, secara data dan penelitian Komnas HAM telah menyelesaikannya. "Sekarang bolanya ada di tangan Jaksa Agung, karena mereka yang menentukan formulasi hukumnya," kata Ifdhal di Denpasar, Selasa (18/8).

Hal itu dikemukakan Ifdhal dalam acara Seminar HAM "Proyeksi Penagakan Hukum dan HAM Pemerintahan 2009-2014", yang diselenggarakan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Selain Ifdhal, ikut memberikan presentasi pada acara itu Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Drs Nanan Sukarna dan Indria Femida Alfasonny dari Kontras.

Menurut Ifdhal, cukup banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan sebagian besar masalahnya sudah terselesaikan oleh Komnas HAM, diantaranya Kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti, kasus Semanggi 1 dan 2, serta kasus Penghilangan Orang Secara Paksa. Namun demikian lanjut Ifdhal, Komnas HAM hanya memiliki kewenangan di tingkat penyelidikan dan kewenangan penyidikan ada di Jaksa Agung.

Sebenarnya lanjut Ifdhal, kasus-kasus pelanggaran HAM yang yang datanya dikumpulkan Komnas HAM, sudah bisa masuk ke penyidikan, tetapi jelasnya kasus itu tidak bisa karena Jaksa Agung memilki pandangan yang berbeda. Jaksa Agung berpandangan bahwa terlebih dahulu perlu ada pengadilan adhoc, sementara kewenangan membentuk pengadilan adhoc ada di DPR dan perlu tandatangan Presiden.

"Jadi penyelesaian masalah pelanggaran HAM itu sangat tergantung pada issu politis. Apakah DPR dan Presiden punya keberanian untuk masuk dan menyelesaikan issu yang sangat sensitif itu," kata Ifdhal.

Tetapi katanya, bila mengacu pada janji-janji kampanye Presiden SBY dalam kampanyenya sebelum terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya, maka seharusnya dia berani menyelesaikan kasus-kasus di masa lalu. Apalagi katanya, bahwa Demokrat menjadi mayoritas di DPR dan hal itu akan dipengaruhi pula terhadap kekuatan koalisinya di DPR.

Mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, Ifdhal mengatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi belakangan ini, juga banyak menimbulkan kasus-kasus HAM. Masalah PHK massal, pola kerja dengan outsourcing kata Ifdhal, cukup banyak menimbulkan kasus HAM. Begitu juga kasus-kasus yang berkaitan dengan issu kekerasan agama dan dan berkeyakinan, serta tindakan eksesif oleh polisi dalam melakukan penyidikan.
Sementara itu Indria Femida dari Kontras menyatakan keraguannya akan keberanian dan kemampuan DPR untuk memberikan dukungan bagi penyelesaian masalah-masalah pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM dimasa lalu. Sekarang ini jelas Indria, anggota DPR kebanyakan artis dan juga orang yang berada dalam struktur pemerintahan dimasa lalu.

Memang akunya, orang-orang yang diduga tersangkut kasus pelanggaran HAM dimasa lalu tidak masuk dalam struktur pemerintahan saat ini, tetapi kekuasaannya dalam politik maupun ekonomi masih sangat terasa. "Apalagi dalam pemilu kemarin, mereka ikut menjadi calon," kata Indri.
Sementara itu Kadiv Humas Polri Nanan Sukarna mengatakan, sejak 1998 polisi sudah mengubah paradigmanya. Jika pada masa lalu polisi lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga sering dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah. Tetapi sekarang polisi sudah berubah, polisi lebih berorientasi pada hukum dan dikontrol oleh masyarakat.

Ada yang mengatakan bahwa polisi banyak yang brengsek kata Nanan, itu memang benar, tetapi itu bersifat personal dan itu dilakukan oleh oknum. Padahal dari segi sistem, polisi sudah banyak berubah, baik dari strukturnya maupun instrumennya. "Sekarang kita lebih demokratis, lebih mengedepankan pendekatan hukum," kata Nanan.

Dikatakannya, sesuai dengan paradigma baru, maka polisi tidak segan-segan menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran. Setidaknya lanjut Nanan, selama 2009, sudah 519 orang anggota polisi yang disidang di pengadilan, 1.164 orang pada 2008 dan 357 orang 2007. "Ini angka yang cukup besar, mana ada negara di dunia yang menindak polisinya sampai sebanyak itu. Itu berarti Polri punya kemauan untuk berubah menjadi lebih baik," kata Nanan.

Dalam acara kemarin, Kontras meluncurkan buku panduan untuk pekerja HAM. Buku setebal 196 halaman itu, disusun oleh Kontras dan didukung oleh Indonesia Australia Legal Development Facility, memuat Pemantauan dan  Investigasi HAM. aas/pur