Institusi TNI Masih Belum Bisa Dipercaya

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah elemen masyarakat sipil mempertanyakan rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani masalah terorisme di Tanah Air. Mereka menilai institusi itu masih belum bisa atau layak untuk dipercaya.

Penilaian itu dilontarkan dalam jumpa pers yang digelar di kantor Kontras, Jakarta, Kamis (27/8), yang diikuti perwakilan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Mufty Maakarim (IDSPS), Edwin Partogi dan Oslan Purba (Kontras), dan dosen pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar.

Kekhawatiran terbesar mereka terutama terkait kemungkinan terjadinya intimidasi, salah tangkap, penculikan, dan penyiksaan yang bisa saja dilakukan militer saat mereka diterjunkan mengejar anggota masyarakat, yang masih diduga pelaku teroris. Keterbatasan publik mengakses informasi soal penanganan terorisme masih jadi tantangan serius sampai sekarang.

"Apalagi jika TNI terlibat, padahal kita tahu institusi itu adalah lembaga paling tidak akuntabel dan tertutup," ujar Oslan. Militer, menurut Oslan, juga masih sangat tertutup, terutama terkait pertanggungjawaban berbagai pelanggaran HAM masa lalu yang mereka lakukan.

Tambah lagi beberapa orang dari kalangan militer sendiri masih menunjukkan mereka masih punya paradigma berpikir lama. "Coba lihat pernyataan salah seorang Panglima Kodam beberapa waktu lalu, yang menyatakan tangkap saja orang-orang yang berjanggut atau berjubah. Dari sana kan kelihatan dalam pikiran mereka niatnya sudah mau menangkap, bukan lagi sekadar mengawasi atau membantu polisi," ujar Oslan.

Dalam kesempatan sama, Edwin Partogi mempertanyakan kesan selama ini justru inisiatif untuk melibatkan militer justru muncul dari Presiden Susilo bambang Yudhoyono sendiri. Hal itu justru dinilai mengherankan karena inisiatif macam itu seolah-olah justru memperlihatkan ketidakpuasan presiden atas penanganan masalah terorisme oleh Kepolisian RI (Polri) selama ini.

"Belum lagi soal adanya pernyataan banyak kemampuan TNI yang menganggur (idle) karena tidak dimanfaatkan. Lagipula sekarang apa mau melibatkan tentara sampai nanti misalnya, hotel-hotel tempat orang asing dijaga panser? Apa tidak malah menunjukkan Indonesia negara tidak aman. Padahal kita harus bersyukur, bahkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama saja katanya masih mau berkunjung ke Indonesia. Berarti kan dia masih percaya Indonesia aman," ujar Edwin.

Sementara itu, Bambang Widodo Umar mempertanyakan adanya anggapan militer lebih punya kemampuan dalam menangani aksi teror daripada polisi. Anggapan itu muncul bahkan dengan mengilustrasikan kesuksesan ABRI di masa lalu dalam Operasi Woyla. Operasi pembebasan sandera oleh Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) itu terjadi tahun 1981 di Bandar Udara Don Muang, Bangkok, Thailand, ketika sebuah pesawat Garuda DC-9 "Digul" dibajak.

Dahulu kepolisian juga pernah menangani pembebasan sandera serupa di Yogyakarta, bulan April tahun 1972. Pelaku pembajaknya mantan militer dan pesawatnya milik maskapai Merpati. "Kalau soal kemampuan siapa pun mampu, cuma harus dilihat eskalasi ancamannya sehingga disesuaikan yang diterjunkan," ujar Bambang.