DPR Didesak Usulkan Pengadilan HAM

JAKARTA – Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional mengingatkan kembali luka sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Bagaimana tidak, hingga kini pemerintah belum mampu mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat Orde Baru, termasuk saat transisi reformasi di era 1997/1998.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid meminta pemerintah secara tegas menyelesaikan penanganan kasus HAM yang selama ini terjadi di Tanah Air.

Menurut dia, upaya penanganan kasus pelanggaran HAM, termasuk soal pelacakan keberadaan orang yang dihilangkan secara paksa, bisa dilakukan selama pemerintah memiliki kemauan politik. “Ini juga harus didorong oleh DPR,” ujar Usman kepada wartawan, Selasa (1/9/2009).

Keberadaan Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang yang dibentuk akhir tahun lalu oleh DPR, lanjutnya, masih belum bisa mengusulkan solusi permasalahan pelanggaran HAM kepada pemerintah. “DPR bisa mengusulkan pengadilan khusus terkait pelanggaran HAM kepada pemerintah,” ungkapnya.

Perwakilan keluarga korban yang tadi siang bertemu dengan Direktorat Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM di Jakarta mengaku menyesalkan sikap tak acuh pemerintah terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM. Satu di antaranya Nur Hasanah yang kehilangan anaknya benama Yadin Muhyidin pada 14 Mei 1998.

“Tolong pak carikan anak saya, jangan biarkan saya terus menunggu,” pinta Tuti saat berbicara di hadapan Direktur Kerjasama HAM Depkum HAM, Dimas Samudra Rum, di kantor Dirjen HAM, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Dalam catatan Kontras, terdapat 23 orang yang dihilangkan secara paksa saat terjadinya kerusuhan memasuki era reformasi. Hingga kini, 13 orang di antaranya masih belum diketahui keberadaannya. Sementara, sejak tahun 1968-1998 ada sekira 1.125 orang hilang.

Untuk menyempurnakan perangkat hukum terkait kasus HAM, pemerintah diminta segera meratifikasi ?Konvensi Internasional Perlindungan Setiap Orang terhadap Penghilangan Paksa’.

Ratifikasi tersebut, kata Usman, bisa menjamin setiap korban untuk dapat melapor langsung ke konvensi internasional di bawah naungan PBB. Bahkan, bila ratifikasi dilakukan, konvensi bisa menegur pemerintah bila lamban dalam penanganan kasus pelanggaran HAM. (lsi)