DPR Rekomendasikan Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc

MedanBisnis – Jakarta
Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang DPR merekomendasikan agar Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk orang hilang. Kejagung pun didesak segera menyelidiki kasus orang hilang.

“Pansus merekomendasikan kepada Presiden SBY pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus orang hilang, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, pencarian 13 orang hilang yang belum ditemukan dan ratifikasi konvensi HAM PBB tentang penghilangan orang secara paksa,” papar Ketua Pansus Orang Hilang Effendi Simbolon.

Hal ini disampaikan Effendi saat membacakan 4 rekomendasi Pansus Orang Hilang dalam sidang paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/9). Sidang ini lebih banyak dihadiri anggota DPR dibandingkan sidang serupa sebelum Ramadhan.

Dengan keputusan DPR kali ini, kata dia, Jaksa Agung Hendarman Supandji harus segera melakukan penyidikan kasus orang hilang yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM supaya dapat segera diadili di pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan HAM ad hoc dilakukan oleh presiden melalui keppres.

Pansus berharap presiden dapat segera menindaklanjuti putusan DPR terkait rekomendasi ini supaya kasus orang hilang dapat segera diketahui kejelasannya.

Usai paripurna, perwakilan dari 20 orang keluarga orang hilang menyerahkan bunga mawar putih untuk Effendi sebagai bentuk simpati atas perjuangannya membela orang-orang yang kehilangan keluarganya.

Koordinator Kontras Usman Hamid berharap Presiden SBY segera memerintahkan Kejagung mengambil tindakan lanjutan dalam 100 hari ke depan. Hal itu sebagai bukti bahwa presiden menepati janjinya selama kampanye yang ingin memperbaiki pemerintahan ke depan, terutama perhatian terhadap HAM.

“Sekarang tidak ada lagi alasan bagi Kejagung untuk menunda-nunda penyidikan bagi kasus orang hilang,” kata Usman.

Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Mugiyanto mengatakan, presiden harus segera mengeluarkan keputusan presiden pembentukan pengadilan HAM Ad hoc terkait dengan kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998 yang tercacat ada 23 kasus.

Langkah berikutnya, kata Mugiyanto yang juga menjadi salah seorang korban, presiden harus mengeluarkan instruksi presiden untuk mencari korban yang hilang.

Dia mencontohkan, dengan membentuk tim untuk mencari informasi keberadaan korban itu membongkar dokumen di militer. “Soal isi inpres itu terserah presiden,” ujarnya.

Mugi mengingatkan, rekomendasi dewan itu tidak bisa dianggap main-main karena memiliki kekuatan hukum. “Kalau diabaikan dewan bisa memanggil dan mempertanyakannya,” ujarnya.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo mengatakan, yang perlu diwaspadai adalah proses penyidikan dan peradilan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini.

“Apakah bisa independen dan menjerat pelakunya,” katanya. Dia mengatakan, komisi akan terus memberikan record terkait proses itu. “Civil society pun ikut mengawasi dan memantaunya,” katanya.
(dcn/tnr)