Sekap Anggodo!

JAKARTA,(GM)-
Mantan Ketua MPR RI, Amien Rais menyatakan, Anggodo Widjojo sebaiknya disekap hingga seluruh informasi terkait rekaman rekayasa dugaan kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap.

"Anggodo harus disekap sampai semua informasi terbuka dan terungkap," katanya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (6/11).

Menurutnya, banyak mafioso dan makelar kasus di tiga lembaga penegak hukum, yakni kejaksaan, kepolisian, dan KPK. "Saya yakin ini akan terungkap yang besar-besarnya. Tunggu saja," ujarnya.

Sejauh ini pihak kepolisian belum melakukan penahanan terhadap Anggodo karena belum memiliki bukti yang cukup. Adik buron KPK Anggoro Widjojo itu kemarin dibawa ke rumah sakit untuk check up terkait penyakit jantung yang dideritanya.

Sementara itu, pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya melaporkan Anggodo ke pihak kepolisian karena telah mencatut namanya dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika tidak maka SBY mengakui dirinya terlibat.

"Jika tidak melakukan itu, logika sederhananya presiden akui dirinya terlibat," ujar pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali dalam konferensi pers di Kantor Kontras, Jln. Borobudur Jakarta Pusat.

Dalam persidangan tersebut, nama presiden dicatut seorang perempuan yang diduga bernama Ong Yuliana Gunawan. "Ini perkara besar. Tapi sampai sekarang presiden tidak laporkan pencatut namanya. Ada apa ini?" tanya Effendi.

Effendi mengaku heran mengapa presiden tidak mengambil langkah hukum terhadap Anggodo yang melecehkan kepala negara. Padahal, dalam kasus Zaenal Ma’rif, presiden langsung bereaksi melaporkan Zaenal. "Kalau presiden tidak bereaksi, presiden nerima dong. Logika sederhana tapi mewah," katanya.

Kalau memang presiden tidak melaporkan Anggodo, Effendi menilai presiden secara lapang dada memang sudah memaafkan Anggodo dengan alasan demi kepentingan bangsa. "Tapi sampai sekarang pernyataan itu belum ada yang dengan lapang dada memaafkan Anggodo," katanya.

Sebelumnya dalam rekaman KPK, adik buronan KPK Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo, mencatut nama Presiden SBY dalam rekaman tentang kriminalisasi KPK. Beberapa kali nama SBY disebut-sebut dalam percakapan itu. Bahkan dianggap seolah-olah memberikan dukungan.

Dalam transkrip rekaman yang beredar luas itu, diketahui dukungan SBY diberikan kepada Abdul Hakim Ritonga. Di rekaman bulan Juli dan Agustus, Ritonga memang tampak memainkan peran penting. Saat percakapan terjadi, Ritonga masih menjabat Jampidum (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum). Saat ini, Ritonga menjabat Wakil Jaksa Agung.

"Pokoke saiki (pokoknya sekarang) Pak SBY mendukung. SBY itu mendukung Ritonga lo," ujar seorang wanita bernama Yuliana Gunawan atau Lien, dalam percakapan dengan seorang pria yang suaranya mirip Anggodo, pada 6 Agustus.

Lien, dalam rekaman yang beredar itu, merupakan orang yang kerap berhubungan dengan Ritonga. Dia juga kerap menggunakan kata "yang" atau "sayang" saat berbincang dengan Anggodo.

Anggodo sempat tidak percaya dengan dukungan SBY itu, namun wanita bernama Lien itu meyakinkan. "Harus ditegakno, ngarang yo opo sih, Yang (harus ditegakkan, masa mengarang?)" ungkap Lien.

Dukungan SBY memang dicari Anggoro, yang juga tersangka korupsi KPK. Dokumen soal rekayasa dia yang mengaku diperas pejabat KPK bahkan ikut dikirim ke SBY. Ini tertuang dalam percakapan pada 23 Juli 2009. "Pokoknya, berkasnya ini kelihatannya dimasukkan ke tempatnya Ritonga, minggu ini, terus balik ke sini, terus action," kata suara Anggodo.

Lawan bicaranya pun lalu menanyakan apakah berkasnya itu sudah dikirim ke SBY atau belum. "RI 1 belum?" tanyanya.

Transkrip rekaman rekayasa ini sudah beredar ke publik. Sebelumnya kubu Anggoro, melalui pengacaranya Bonaran Situmeang, membantah rekaman ini. Sedangkan Jaksa Agung Hendarman Supandji telah meminta klarifikasi dari Ritonga. "Pokoknya, SBY itu mendukung kita, ngerti?" kata Yuliana pada Anggodo.

DPR kok tiarap

Di lain pihak, Tim 8 mempertanyakan sikap parpol di DPR yang cenderung tidak mengikuti aspirasi masyarakat dalam kasus dugaan kriminalisasi pimpinan KPK. Media dan LSM justru lebih peka terhadap aspirasi yang bergejolak di masyarakat.

"Sementara DPR yang namanya perwakilan rakyat, justru tiarap dalam pemberantasan korupsi. Jadi ketika masalahnya menyangkut korupsi, kecenderungannya diam. Partai-partai yang mengusung isu korupsi juga tiarap. Ada apa ini?" ujar anggota Tim 8, Anies Baswedan di kantor Tim 8, Jln. Veteran Jakarta Pusat.

Rektor Universitas Paramadina ini juga menyatakan keheranannya, karena saat rapat dengar pendapat (RDP) antara polisi dengan DPR berlangsung terbuka. Namun ketika RDP dengan KPK berlangsung tertutup. "Kalau itu fungsinya untuk public relation dapat memperkeruh suasana," kritiknya.

Anies juga menanggapi dengan dingin komentar beberapa anggota dewan yang menyatakan Tim 8 overacting, tidak punya kewenangan, dan menjelma menjadi superbody. "Kita hanya memberikan rekomendasi ke presiden, jadi superbody apanya?" katanya.

Sedangkan Effendi Ghazali menilai, kualitas pertanyaan anggota DPR sangat rendah saat RDP dengan Kapolri. Seharusnya para senator tersebut lebih kritis mempertanyakan kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Melihat RDP tersebut, Effendi kaget mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Kapolri. Jika diberi nilai justru Kapolri, Jenderal Po. Bambang Hendarso Danuri dan Komjen Pol. Susno Duadji yang mendapat nilai lebih tinggi. "Kapolri dan Susno mendapat nilai 9, DPR nilainya 6," sindir Effendi sambil tersenyum.

Bahkan Effendi menyinggung jika diadakan ujian mengajukan pertanyaan yang pesertanya para anggota Komisi III, nilai yang didapat para wakil rakyat tersebut tidak akan memuaskan. "Jika ada ujian ajukan pertanyaan, nilainya sangat rendah," katanya.

Susno inkonsisten

Kabareskrim Mabes Polri nonaktif, Komjen Pol. Susno Duadji dinilai banyak melakukan inkonsistensi saat menjawab pertanyaan Tim 8. Keterangan Susno tidak sama persis dengan yang telah dikatakannya. "Ada keterangan yang inkonsisten. Karena, ada cerita yang didalami ternyata tidak konsisten," kata anggota Tim 8, Anies Baswedan.

Anies menjelaskan, hal-hal yang inkonsisten tersebut misalnya, terkait dana yang diberikan bos PT Masaro Radiakom, Anggoro Widjojo kepada KPK.

Anies mempertanyakan kenapa justru yang dijadikan sebagai tersangka adalah Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Padahal, yang melakukan komunikasi langsung dengan para penyuap adalah Ade Raharja. "Kenapa yang dijadikan tersangka justru pimpinan KPK? Padahal di situ ada Ade Raharja. Ada apa ini?" ujarnya.

Anies juga mempertanyakan status Ari Muladi yang menjadi tersangka kasus penggelapan uang Anggoro dan menjadi saksi kasus pemerasan.

"Ada tidak orang di republik ini yang menjadi saksi dan tersangka dalam waktu bersamaan. Bagaimana Anda bisa bersaksi dengan jujur apabila Anda menjadi tersangka. Inilah yang kita pertanyakan," kata Anis.

Pernah diajak Anggodo

Ari Muladi mengaku pernah diajak Anggodo Widjojo bertemu Komjen Pol. Susno Duadji. Pertemuan yang berlangsung di Kabareskrim Mabes Polri itu terjadi dua kali. "Pernah di Bareskrim untuk menerangkan ke Pak Susno, saya ini yang melakukan penyerahan pada pimpinan KPK," kata Ari.

Setelah itu, Ari mengaku diajak Anggodo untuk bertemu Susno sekali lagi. Saat itu, untuk menerangkan soal tanggal-tanggal penyerahan uang.

"Saya bicara soal tanggal-tanggal kronologi, tapi saya lupa kalau tanggal-tanggal. Saya dibilangin sama Pak Susno, saya saja yang peristiwa 10 tahun saja masih ingat, Anda kok masih muda lupa. Terus saya bilang, saya memang pelupa kalau soal tanggal-tanggal. Saat itu status saya masih saksi," kata Ari.

Ari mengatakan, Anggodo adalah orang yang mengatur kronologis, termasuk soal tanggal-tanggal tentang penyerahan uang tersebut. Dirinya hanya tinggal mencocokkan saja.

"Pernah suatu kali pas saya diperiksa, Pak Anggodo menelepon penyidik dan teleponnya dikasih ke saya. Waktu itu untuk mengingatkan saya soal tanggal-tanggal, dan saya hanya mengiyakan saja," kata Ari.

Namun, Ari mengaku tidak mengetahui bahwa pengaturan tanggal itu adalah skenario untuk menjerat pimpinan KPK. Jika dari awal dirinya tahu ada skenario itu, dia tidak mau terlibat. "Saya enggak pernah tahu ada skenario itu. Kalau tahu, saya enggak mau," katanya.

Ari juga membantah pernah datang ke KPK enam kali. "Saya hanya ke sana sekali," kata Ari. Saat itu dia mengaku diminta Anggodo untuk mengantarkan surat yang menyatakan Anggoro tidak bisa memenuhi panggilan KPK. "Entah diperiksa atau jadi saksi, saya tidak tahu," katanya.

Ari kemudian menceritakan saat dia berada di kantor KPK di Jln. H.R. Rasuna Said, Jakarta itu. Ari mengatakan, setelah menulis kedatangan di buku tamu, ia juga difoto. "Saya baru tahu kalau setiap orang yang datang ke KPK itu harus difoto. Setelah itu, saya disuruh menunggu di ruang tunggu sekitar 1 jam," kata Ari.

"Saya harusnya bertemu penyidik, tapi karena penyidik tidak bisa menemui saya, akhirnya surat Anggoro itu saya berikan kepada salah satu staf di depan lift," kata Ari. Jadi tidak bertemu pimpinan KPK? "Sama sekali tidak," jawab Ari.

Bantah pernyataan Kapolri

Kapolri, Jenderal pol. Bambang Hendarso Danuri (BHD) menjelaskan dengan panjang lebar soal kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto di rapat kerja dengan Komisi III DPR. Namun, sebagian isinya justru sudah terbantahkan oleh isi rekaman dugaan rekayasa yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Setidaknya ada beberapa hal yang sudah bisa terbantahkan sendiri oleh rekaman kemarin," kata kuasa hukum Bibit dan Chandra, Bambang Widjojanto usai jumpa pers di Hotel Sultan, Jakarta Selatan.

Salah satu pernyataan yang bisa dibantah adalah soal kepergian Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Susno Duadji ke Singapura. BHD menjelaskan, kepergian Susno sudah mendapat restu dari kepolisian untuk melakukan penyidikan. Namun, yang terungkap dalam rekaman adalah kepergian Susno diatur oleh Anggodo, adik Anggoro Widjojo. "Tidak dijelaskan soal pergi sama Anggodo, itu tidak fair," tambahnya.

Selain itu, bukti dokumen 15 Juli yang dibuat Ari Muladi digunakan polisi sebagai dasar kasus penyuapan. Namun, selain sudah dicabut Ari, di dalam rekaman juga terungkap jika dokumen tersebut rekayasa. "Di rekaman tersebut terdengar jelas ada kepanikan karena Ari Muladi enggak mau dan Eddi Sumarsono enggak setuju," katanya.

Bambang menilai ada pemaksaan alibi dalam kasus yang menimpa kliennya. Termasuk soal bukti adanya karcis parkir, foto mobil, dan lainnya. "Itu ‘kan di rekaman juga sudah disebut. Kalau soal foto, ada berapa banyak mobil pegawai KPK yang ke Pasar Festival? ‘Kan deket itu," kecamnya.

Bantahan M.S. Ka’ban

Malem Sambat (M.S.) Ka’ban, mantan Menteri Kehutanan, membantah atas dugaan keterlibatannya dalam kasus yang menimpa pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto-Chandra M. Hamzah. Pernyataan itu disampaikan Ka’ban setelah namanya disebut telah menerima aliran dana sebesar Rp 17,6 miliar dalam rapat kerja (raker) Komisi III DPR RI-Polri di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (5/11) malam.

"Sampai detik dan hari ini, saya belum pernah lihat, apa yang disebut dengan cek bertuliskan angka senilai Rp 17,6 miliar. Belum pernah ada transfer rekening sebesar itu. Saya kira rekening saya gampang dilacak. Silakan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) dan Polri melacaknya," imbau M.S. Ka’ban saat ditemui wartawan di kediamannya, Jln. Kranji II No. 7, Kompleks Perumahan Budi Agung, Kel. Sukaresmi, Kec. Tanahsareal, Kota Bogor, kemarin.

Untuk meyakinkan, Ka’ban secara berulang kali menegaskan dan meminta PPATK segera membantu Polri untuk menyelidiki dan melacak kebenaran adanya aliran dana sebesar itu (Rp 17,6 miliar) tersebut masuk ke rekeningnya.

"Saya sarankan PPATK segera membantu kapolri beserta jajarannya, untuk melacak yang Rp 17 miliar lebih itu. Di rekening yang mana? Kalau misalnya butuh informasi rekening, akan saya kasih. Yang jelas tidak ada, saya belum pernah terima cek, baik itu travel cheque ataupun transfer," tegasnya.

Selain itu, kata Ka’ban, pihaknya meminta supaya kasus ini dapat berjalan sesuai hukum yang berlaku. Ka’ban mempersilakan, tak hanya kepada PPATK dan Polri, tapi KPK yang saat ini masih melakukan penyidikan kasus ini. "Saya pikir agar masalah ini jernih, silakan saja diselidiki KPK dan PPATK. Jika fakta-faktanya ada, saya akan siap menerima risikonya. Kalau memang itu ada, tapi sampai hari ini belum ada," urainya.

Sekadar diketahui, M.S. Ka’ban disebut-sebut karena dugaan korupsi proyek sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) yang terjadi di Departemen Kehutanan. Salah seorang pemegang saham PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini dan sekarang masih buron. (B.65/dtc)**