Hadirkan Keadaban dalam Dunia Peradilan

Dalam kegelapan, muncul juga terang dan harapan….

Awalnya adalah perjuangan melawan korupsi dan kesewenangan yang melahirkan gerakan Cicak vs Buaya. Langkah itu kian menguat seiring ditahannya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Masyarakat meradang karena menduga ada upaya sistematis untuk meruntuhkan KPK.

Dugaan itu kian kuat menyusul dibukanya rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo, adik tersangka korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, yang menyebut sejumlah pejabat Kejaksaan Agung dan Polri, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rekaman itu diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Keberadaannya tentu sungguh merusak. Bau rekayasa menyeruak tajam dalam dunia peradilan di Indonesia.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) pun menengarai, macetnya proses hukum dan kandasnya upaya pemenuhan keadilan bagi korban diduga tidak lepas dari virus itu. Desakan masyarakat agar penegak hukum yang diduga terlibat untuk mengundurkan diri justru disambut dengan upaya terus-menerus untuk berdalih dan membenarkan diri sendiri.

Hal itu, kata Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menunjukkan hancurnya moralitas, terutama pada penegakan hukum. Akibatnya, keadaban publik pun terancam. Dampaknya, masyarakat makin sulit mengharapkan hadirnya keadilan.

Prihatin atas situasi itu, jantung masyarakat pun bergolak. Melalui berbagai media, mereka bersuara. Melalui dunia maya, mereka menyuarakan tuntutan agar dunia peradilan dibenahi. Melalui mural hingga dialog interaktif di beberapa media cetak dan elektronik, mereka menyatakan dukungan agar KPK tidak dilemahkan serta kejaksaan dan Polri dibenahi.

Masyarakat tidak lagi tidur dan dapat dikelabui. Sebagai warga negara, mereka kian sadar akan hak dan kewajibannya. Kesadaran itu mendorong mereka untuk menunjukkan sikap, keinginan, dan harapannya.

Meskipun gerakan itu belum sebesar dan semasif gerakan massa tahun 1998, menurut dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Haryatmoko, pernyataan diri itu memasuki masa kematangannya. Itu merupakan penanda bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk mereformasi dan melakukan perubahan substantif untuk membangun kembali dunia peradilan di Indonesia. Momentum ini tidak akan selalu berulang.

Menurut Haryatmoko, saat ini adalah waktu yang tepat untuk membangun sejarah baru bagi masa depan Indonesia.

Reformasi hukum

Pada 28 Desember 1967, PK Ojong, seorang pendiri Kompas, menulis dalam rubrik Kompasiana tentang upaya pemberantasan korupsi. Ia menulis tentang sikap pesimistis beberapa rekannya yang mengatakan tentang aparat negara yang korup dan sulit untuk menyehatkannya lagi. Dalam tulisan itu, ia menunjuk tulisan Sri Widojati Notoprodjo, hakim Pengadilan Tinggi Jakarta kala itu, tentang gagasan perlunya memperbaiki kinerja penegak hukum. Salah satunya dengan memperbaiki nasib mereka.

Dalam tulisan bersambungnya yang diberi judul ”Keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia” yang dimuat di Kompas tanggal 9, 11, dan 12 Desember 1967, Sri Widojati juga mengatakan tentang kebobrokan yang terjadi berlarut-larut, meluas, dan mendalam tanpa ada tanda positif dari penguasa untuk mencegah kemerosotan itu.

Salah satu penyebabnya, menurut Sri Widojati, adalah kegagalan untuk hidup sebagai masyarakat modern. Feodalisme masih mengikat sehingga kekuasaan atau wewenang yang didapat karena jabatan kerap tak dilihat secara fungsional, tetapi secara terlepas. Banyak pejabat tidak menyadari bahwa mereka hanya pelayan masyarakat (public servant), dengan tugas utama memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sesuai dengan wewenang dan fasilitas yang ada padanya.

Untuk mewujudkannya, Sri Widojati menyarankan untuk memperbaiki sistem yang saat ini dikenal dengan remunerasi. Kebutuhan finansial penegak hukum dipenuhi. Secara ideal, Sri Widojati menyebutkan, perjuangan pengabdi hukum ditujukan pada penanaman kesadaran HAM rakyat dan penguasa serta menanamkan kesadaran pada rakyat akan haknya menurut hukum. Karena sulit dibayangkan mereka secara jujur, tekun, dan konsekuen menjalankan tugas jika pikirannya masih dihantui dengan bagaimana memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya.

Tujuan ideal sebagaimana dikemukakan Sri Widojati itulah yang saat ini tampak menjadi tuntutan publik. Masyarakat sadar apa yang mereka inginkan dari pemerintah. Sebagaimana dikemukakan Haryatmoko, ini adalah waktu yang tepat untuk membuat perubahan substansial pada dunia peradilan, yang arahnya adalah pemenuhan rasa keadilan publik dan pemenuhan hak dasar warga negara.

Apa yang mengemuka melalui berbagai media menyatukan dan menguatkan mata rantai kesadaran sosial itu. Hal ini mengingatkan kembali pada gagasan pemikir politik dari Amerika, Charles Tilly, tentang gerakan massa. Ada komitmen bersama serta kesatuan gerak yang oleh Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Usman Hamid disebut sebagai etos bersama. Benny Susetyo menyebutnya sebagai moralitas kolektif warga negara.

Etos bersama itu adalah ketegasan untuk menolak apa pun bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Gerakan itu berhadapan dengan mereka yang dinilai melindungi jaringan dan lingkaran korupsi. Etos bersama itu, kata Usman, idealnya menyatukan dan menggerakkan semua sektor dan elemen masyarakat. Gerakan bersama itu nantinya diharapkan akan memunculkan klaim kolektif yang ditujukan pada otoritas, seperti presiden, kejaksaan, dan Polri, untuk terus memperbaiki diri, terutama dalam pelayanan dan mewujudkan pemenuhan keadilan bagi masyarakat

Sebagai gerakan massa, gerakan itu diharapkan menjadi kesadaran lintas sektor yang perlu dijaga bersama dan berkesinambungan serta tidak berhenti karena memudarnya sebuah kasus. ”Pelakunya siapa saja, baik itu aktivis dan mereka yang memperjuangkan kesetaraan, HAM, lingkungan hidup, seniman, perempuan dan anak, serta gerakan lainnya,” kata Usman. Benih itu mulai tumbuh. (B Josie Susilo Hardianto)