POLISI, POLITIK dan PUBLIK

Kasus Bibit-Chandra telah menjadi medan politik. Politisasi kasus ini salah satunya menghasilkan dibentuknya Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra (Tim Delapan) oleh Presiden. Awalnya Presiden menilai penahanan terhadap Bibit-Chandra sebagai proses hukum biasa. Bahkan Presiden sempat mempertanyakan istilah kriminalisasi KPK yang dinilai tidak relevan.

Pertarungan politik kasus ini kini tampak pada sikap senada Kepala Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi III DPR. Ketiganya berkeras menganggap bahwa proses hukum terhadap Bibit-Chandra perlu dilanjutkan. Berseberangan dengan sikap masyarakat sipil yang melihat kasus ini sebagai rekayasa. Suara mereka terwakili oleh Tim Delapan, yang dalam kesimpulan sementaranya menyatakan fakta dan proses hukum yang dilakukan Polri terhadap Bibit-Chandra tidak cukup untuk menyatakan adanya pemerasan dan penyuapan. Tidak goyahnya pendirian Jaksa Agung maupun Kapolri setelah diperdengarkannya rekaman di Mahkamah Konstitusi dan kesimpulan sementara Tim Delapan, tentu mengundang pertanyaan publik di mana posisi Presiden sebenarnya. Bisa saja masyarakat menilai sikap yang diambil oleh dua institusi tersebut merupakan cermin dari kebijakan Presiden.

Rendahnya sensitivitas Kepala Polri dan Jaksa Agung, yang tidak menindak aparaturnya yang terkait rekaman telepon Anggodo tersebut, tentu di luar nalar publik. Sekalipun mereka berdalih tidak cukup bukti, persepsi publik tentang korupsi di kedua lembaga tersebut berangkat dari suatu yang empiris berhubungan dengan aparat selama ini. Hal ini juga tecermin dari survei yang menempatkan lembaga DPR, polisi, dan lembaga peradilan (pengadilan dan jaksa) sebagai lembaga terkorup.

Sebenarnya, rumusan etik bagi penonaktifan aparatur negara yang diduga melakukan korupsi dan tindak tercela telah ada dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 8 Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Di situ dikatakan pegawai negeri yang tersangkut masalah korupsi bisa dikenai tindakan administratif sebelum diadili. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan bahwa pejabat publik yang mendapat sorotan negatif masyarakat harus mengundurkan diri atau diberhentikan atasannya.

Sikap Komisi III DPR mudah dibaca masyarakat sebagai kepentingan politik partai berkuasa serta koalisi di dalamnya, termasuk mempresentasikan kepentingan anggota DPR yang selama ini kerap disorot karena dugaan tindak korupsinya. Tentu hal ini menggiring opini publik bahwa anggota DPR diuntungkan dengan pelemahan KPK. Dalam beberapa kesempatan, Presiden secara langsung juga menyatakan kegusarannya terhadap sepak terjang KPK. Hal itu tampak pada pernyataannya bahwa KPK telah menjadi kekuatan superbody tanpa pengawasan. Presiden sempat mengimbau agar pencegahan lebih dikedepankan dibanding penjebakan. Termasuk permintaannya agar BPKP melakukan audit terhadap KPK.

Fakta tanpa Hukum
Beberapa fakta yang terkait dengan kasus Bibit-Chandra di mata publik tidak cukup fair. Pertama, Polri defensif menangani laporan pertemuan Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji dengan tersangka Anggoro di Singapura pada 10 Juli 2009. Dan perihal surat klarifikasi yang ditujukan kepada direksi Bank Century, yang menerangkan bahwa deposito yang dimiliki Budi Sampoerna tidak bermasalah. Tanpa pemeriksaan yang mendalam, Mabes Polri mengemukakan bahwa hasil pemeriksaan terhadap Susno tidak ada pelanggaran etika, profesi, dan pidana yang dilakukannya terkait dengan penanganan kasus Bank Century dan penetapan tersangka dua pimpinan KPK atas tuduhan penyalahgunaan wewenang.

Alasan yang dikemukakan Susno, Anggoro bukanlah buron Polri sehingga tidak dilakukan penangkapan, tentu sulit diterima. Karena pada dasarnya tugas kepolisian yang melekat pada KPK itu menjadi kewajiban bersama pula bagi Polri untuk membantunya. Soal dua kali surat klarifikasi pada bulan April yang dikeluarkan Kabareskrim, serta kerja ekstra Susno di bulan Mei dengan mempertemukan pimpinan Bank Century dan pihak Budi Sampoerna, tentu mengundang tanya. Soalnya, berdasarkan pengalaman masyarakat, bahkan untuk memperoleh surat keterangan kehilangan kendaraan pun umumnya oleh polisi dibebankan "ongkos ketik" yang jumlahnya bervariasi, bergantung pada nilai kendaraan dan klaim asuransinya. Apalagi surat klarifikasi Kabareskrim itu terkait dengan pencairan uang US$ 18 juta.

Kedua, sangkaan penyalahgunaan kekuasaan dengan menerima suap dan pemerasan terhadap Bibit-Chandra, tanpa menjerat pihak Anggoro dari tuduhan tindak penyuapan, jelas menunjukkan keberpihakan. Ketiga, Polri tidak menyentuh dugaan yang sama terhadap Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ade Raharja dan mantan Direktur Penyidikan KPK Bambang Widaryatmo, yang juga merupakan anggota Polri, termasuk penyidik KPK lainnya. Padahal sebagaimana Bibit-Chandra, dugaan terhadap para penyidik KPK itu juga didasarkan pada keterangan Ary Muladi.

Terakhir, Polri bertindak layaknya advokasi ornop, mendampingi pihak Anggoro untuk mendapat perlindungan dari LPSK. Padahal telah menjadi kewajiban polisi memberikan perlindungan terhadap mereka yang mengalami ancaman atau intimidasi. Langkah polisi menggiring pihak Anggoro ke LPSK dapat dibaca sebagai upaya politik memperluas dukungan dari perlindungan yang sejatinya telah diberikan oknum polisi ke pihak Anggoro.

Polisi dan Korupsi
Pasti akan ada selalu orang yang tertarik untuk mempengaruhi pekerjaan polisi. Karena itu, suap dengan mudah dibayarkan atau dimintakan untuk memastikan penyidikan dijalankan sesuai dengan keinginan pihak penyuap. Korupsi dapat mengarahkan polisi untuk tidak melakukan apa yang mestinya mereka lakukan, tidak melakukannya dengan benar, dan melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Korupsi di kepolisian telah menjadi masalah besar tidak hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Korupsi di kepolisian ini telah mengarahkannya menjadi sewenang-wenang dan mengabaikan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Korupsi merusak kemampuan polisi menjunjung tinggi HAM, karena kepentingan lainnya (sering kali kepentingan pribadi) diletakkan lebih tinggi di atas kepentingan umum.
Penting kembali untuk mengingatkan Polri atas Pedoman Perilaku PBB untuk Petugas Penegak Hukum, Resolusi PBB 34/169 Tahun 1979. Pasal 7 dari Pedoman Perilaku itu menyatakan "para petugas penegak hukum tidak dapat melakukan tindak korupsi apa pun. Mereka juga harus dengan keras melawan dan memerangi semua perbuatan semacam itu."

Dalam demokrasi, baik undang-undang maupun kebijakan keamanan disusun oleh wakil rakyat. Dengan demikian, polisi selalu sangat berkaitan dengan politik. Pemolisian dalam definisinya merupakan satu kegiatan politik karena mengusahakan keseimbangan antara berbagai kepentingan di dalam masyarakat. Karena itu, kesetiaan utama polisi haruslah diberikan kepada kepentingan publik. Polisi yang lebih melayani penguasa, pengusaha, dan kepentingan partisan telah menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menghalangi pertumbuhan polisi menjadi profesional dan melanggar asas negara hukum.

Merupakan prinsip HAM yang mendasar bahwa negara dan organ-organnya harus bersifat tanggap terhadap masyarakat yang dilayani. Hal ini juga termaktub dalam Pedoman Perilaku PBB 1979. Bersikap tanggap dan responsif terhadap opini dan keinginan publik bukan berarti kepolisian hanya menjalankan apa yang diinginkan masyarakat. Prinsip itu mensyaratkan kepolisian mampu melakukan penilaian yang adil melayani kepentingan publik yang lebih luas.

Polri sebaiknya berani mengambil pilihan strategis dalam penanganan kasus Bibit-Chandra. Pertama, bertindak profesional berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Serta melakukan penindakan tanpa tebang pilih kepada siapa pun yang terlibat pada kasus ini. Di sisi lain, Polri juga harus dapat membuktikan bahwa ia memerangi dengan keras tindak korupsi di tubuhnya.

Memaksakan berlanjutnya kasus Bibit-Chandra tanpa bukti yang kuat serta rendahnya komitmen Polri untuk memusuhi korupsi di tubuhnya merupakan kesalahan fatal. Hal ini hanya menempatkan Polri sebagai bumper dari kepentingan pribadi, politik, dan para cukong. Segala kerja keras Polri selama ini mengubah persepsi publik akan kembali pada titik nol. Karena profesionalitas Polri tentu tidak mungkin tampil dalam dua wajah, di satu sisi cicak, sisi lain buaya.