SBY Panggil Lagi Kapolri-Jaksa Agung

Jakarta, Tribun – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memanggil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, Rabu (18/11) hari ini.

Pemanggilan itu untuk membahas Rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Tim 8) yang disampaikan kepada SBY di Jakarta, Selasa (17/11).

Pemanggilan Kapolri dan jaksa agung ini merupakan yang kedua kalinya. Pemanggilan pertama saat membahas rekomendasi awal Tim 8 yang meminta penghentian proses hukum kasus Bibit-Chandra.

Namun demikian, SBY menegaskan tidak akan langsung menindaklanjuti hasil laporan dan rekomendasi Tim 8. Pendalaman hasil laporan dan rekomendasi akan dibahas di internal kabinet. "Meskipun saya ingin bergerak cepat untuk meresponnya, ada proses internal pada jajaran pemerintah apa yang harus kita lakukan menyusul laporan yang akan saudara sampaikan nanti," kata SBY kepada Tim 8 yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution.

Selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, kata SBY, akan tetap menggunakan konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan semua yang berlaku. "Ini akan menjadi satu preseden yang baik dalam sejarah di negeri ini, dan yang penting untuk kebaikan kita di masa depan," katanya.

Dia mengaku sudah menerima informasi awal hasil dari verifikasi fakta dan  proses hukum berikut rekomendasi Bibit dan Chandra.
"Kalau itu betul-betul disampaikan, saya memberikan apresiasi, karena itu ibaratnya hukumnya sunnah. Tetapi menjadi sangat penting bagi upaya untuk reformasi di bidang hukum yang tentu menjadi prioritas bagi kita semua," terangnya.

Tanggapan Kontras
Reposisi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan kejaksaan agung (kejagung) yang direkomendasikan Tim 8 tidak akan efektif jika hanya memberikan sanksi administratif. Agar menimbulkan efek jera, aparat yang kotor perlu dibawa ke pengadilan.

"Kita perlu membersihkan aparat hukum. Sehingga sanksi administrasi saja tidak cukup terhadap aparat-aparat penegak hukum yang kotor. Harus dibawa ke pengadilan," ujar Koordinator Kontras Usman Hamid di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut Usman, sanksi administratif tidak cukup untuk membersihkan Polri dan kejagung karena tidak akan menimbulkan efek jera. Ia mencontohkan kasus Artalyta Suryani yang menyeret mantan Jampidsus Kemas Yahya Rahman. Sanksi nonaktif yang diterima Kemas, kata Usman, tidak bisa menyelesaikan masalah dan menjawab apakah dia terlibat.

"Tapi justru kasus ini sampai sekarang menguap karena hanya sanksi administratif dan tidak dibawa ke pengadilan," katanya.
Oleh karena itu menurutnya kalau mau tegas melakukan reposisi di kedua institusi penegak hukum tersebut, setiap aparat yang terbukti bersalah harus dibawa ke pengadilan."Ini penting agar menimbulkan efek jera," tandasnya.

Garis Besar
Garis besar rekomendasi Tim 8 dibacakan salah seorang anggota Tim 8, Anies Baswedan, yang didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (17/11).

Bagian yang paling menarik perhatian dalam laporan setebal 31 halaman selain soal permintaan penghentian proses hukum terhadap Chandra-Bibit, juga menrekomendasikan untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan. (Selengkapnya lihat grafis: Rekomendasi kepada Presiden)

Presiden juga diminta memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat, dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh aparat terkait.

Kasus-kasus lainnya juga diminta dituntaskan yaitu yang terkait seperti kasus korupsi PT Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan pengacara Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century serta kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan RI.

Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga penegak hukum maka presiden disarankan membentuk Komisi Negara.

Komisi ini akan membuat program menyeluruh dengan arah-arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan-pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi advokat, serta sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum, due process of law, hak-hak asasi manusia, dan keadilan.

Ragukan Susno
Tim 8 juga meragukan keterangan keterangan Susno Duadji. Temuan KPK ini bisa dibaca di poin Rekaman Penyadapan KPK terkait Lucas dan Susno Duadji di halaman 20.

KPK mulai menyelidiki dugaan suap terkait Bank Century sejak 25 November 2008. Terkait penyelidikan, KPK mengakui memiliki rekaman penyadapan pembicaraan di antaranya antara Lucas dan Susno. Pembicaraan terkait upaya pencairan dana Budi Sampoerna. Dalam upaya pencairan tersebut, Susnomengeluarkan dua surat klarifikasi tertanggal 7 April dan 17 April 2009.

Dalam pertemuan dengan Tim 8, Susno membantah menerima suap dalam pencairan dana Budi Sampoerna tersebut. Dia mengatakan, sengaja menyusun skenario pembicaraan seolah-olah akan menerima suap. Maksudnya untuk melakukan latihan penyadapan bagi KPK, dan sekaligus latihan "kontraintelijen". Hanya ketika ditanya apakah pihak ketiga (Lucas) mengetahui bahwa tindakan ini merupakan kontraintelijen diketahui, jawabannya adalah tidak.

Meski membantah, Susno mengakui ada pertemuan di Hotel Ambhara dan sempat mendesain suatu rencana penyerahan dengan menggunakan tas, yang diakuinya kosong. Keterangan dan bantahan Susno terkait pura-pura akan menerima suap,diragukan oleh Tim 8.

Pasien Pijat
Salah seorang tokoh kunci kasus dugaan suap terhadap pimpinan KPK adalah Ong Yuliana Gunawan. Uniknya sejauh ini tidak ada kabar adanya upaya aparat penegak hukum terhadap pencatut nama Presiden SBY tersebut.

Di dalam dokumen Laporan dan Rekomendasi Tim 8, diketahui bahwa Ong Yuliana berprofesi sebagai tukang pijat. Eks Jampidum Abdul Hakim Ritonga mengakui perkenalan wanita beraksen Surabaya itu berawal dari keluhan penyakit yang dia dideritanya. Petikan laporan Tim 8 mengenai hal tersebut ada di halaman 14.

Laporan tersebut berbunyi: Ritonga memberikan keterangan antara lain tentang hubungan perkenalannya dengan Yuliana, seputar penyakit yang dialaminya sehingga dikenalkan pada Yuliana sebagai tukang pijat. Tim 8 mempertanyakan kepada Ritonga tentang rekaman pembicaraan KPK terkait dengan pernyataan Yuliana bahwa dirinya didukung oleh RI 1, posisi jampidum dalam kasus Chandra-Bibit; maksud kata duren, dan pijat yang dilakukan oleh Yuliana kepada Ritonga.

Namun seperti kita ketahui, tampaknya hubungan antara pasien dengan pemijit itu berkembang lebih dalam dan menjurus ke arah kerja sama makelar kasus. Paling tidak hal ini terungkap dari rekaman pembicaraan telepon antara Ong Yuliana dengan Anggodo Widjojo yang disadap KPK yang diperdengarkan dalam sidang di MK.

Di dalam rekaman tersebut Yuliana menyatakan kepada Anggodo bahwa Ritonga didukung oleh Presiden SBY dalam kasus yang coba mereka bereskan.

Ikhwal perkenalan antara Yuliana dengan Anggodo kurang lebih sama dengan Ritonga. Yaitu hubungan antara pemijat urat syaraf dengan pasiennya. Belum diketahui apakah Ritonga atau Anggodo yang lebih dahulu mengenal Yuliana, mengingat ketiga orang ini pernah menetap di Surabaya.

Sejak diperdengarkannya rekaman pembicaraan telepon dengan Anggodo 3 November lalu, hingga kini Yuliana belum diketahui kebedaraannya. Anggodo menyebut Yuliana ada di Brunei.(Persda Network/ade)