PENTINGNYA MENJAGA KREDIBILITAS DAN AKUNTABILITAS POLRI

PENTINGNYA MENJAGA KREDIBILITAS DAN AKUNTABILITAS POLRI

Kami mengkhawatirkan masih berlangsungnya kekerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat Polri kepada masyarakat beberapa bulan terakhir. KontraS mendapatkan banyak pengaduan atas tindakan-tindakan penyalahgunaan tersebut, baik berupa penembakan sewenang-wenang, salah tangkap, penyiksaan terhadap tarsangka dalam proses penyelidikan, maupun berbagai tindak kekerasan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Sepanjang bulan Oktober-Desember 2009, KontraS mencatat 22 kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Di bulan Desember saja, KontraS mencatat 11 kasus serupa. Terakhir kali KontraS menerima pengaduan terkait somasi yang diajukan oleh Susno Duadji kepada Bambang Widodo Umar, terkait kritik terhadap kinerja Polri terhadap penanganan korupsi beberapa waktu lalu.

Terhadap peristiwa tersebut, tidak semua peristiwa ditindaklanjuti secara hukum sebagai suatu tindak pidana. Sebagian peristiwa yang belakangan ditindaklanjuti secara hukum juga tidak diinformasikan secara jelas kepada publik. Pemberlakuan mekanisme SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) belum dijalankan secara efektif, khususnya jika pelaku dari tindak pidana tersebut adalah ‘oknum’ dari kepolisian itu sendiri. Meski Polri menyatakan bahwa terjadi peningkatan sanksi disiplin terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya, tapi informasi yang diberikan sangat bersifat umum. Sementara publik, khususnya keluarga korban memiliki hak untuk mendapatkan akses atas informasi yang jelas dan regular atas perkembangan kasus mereka.

Tugas Polri untuk melindungi dan melayani masyarakat akan terus menjadi slogan belaka jika pembenahan kemandirian kultural ini tak segera dibenahi. Upaya progresif Kapolri dengan menerbitkan Perkap tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri (Perkap HAM) juga dipertanyakan karena masih berlangsungnya berbagai perisitiwa kekerasan yang melanggar HAM. Padahal pemberlakuan Perkap ini merupakan pengakuan internal Polri terhadap norma-norma HAM sebagai upaya penunjang untuk mengefektifkan kerja Polri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kami mengkhawatirkan upaya Polri untuk membangun trust building (2005-2010) dalam Grand Strategi Polri tidak dapat berjalan efektif tanpa pembenahan signifikan terhadap pembenahan kemandirian kultural itu sendiri. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, karena Polri juga berjanji untuk meningkatkan profesionalisme SDM Kepolisian di bidang penyidikan dan HAM dalam 100 hari masa kerja Pemerintahan SBY 2009-2014.

Terhadap hal ini, kami melihat pembenahan akuntabilitas internal menjadi penting. Harus ada sanksi yang jelas dan terukur terhadap peristiwa pelanggaran HAM maupun pelanggaran terhadap Perkap HAM. Hal ini bertujuan untuk membangun efek jera sekaligus meminimalisir impunitas di tingkat internal Polri. Kami meminta pembenahan ini diprioritaskan untuk pembenahan efektivitas kinerja Propam di tingkat Polda. Efektivitas kinerja Propam di tingkat Polda menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat secara langsung. Birokrasi struktural tidak boleh menghalangi efektivitas kerja tersebut. Polri jjuga harus membuka diri terhadap pengaduan penyalahgunaan kewenangan maupun tindakan kekerasan yang dilakukan anggotanya di tingkat terendah struktur Polri.

Di sisi lain, Polri harus juga menghormati setiap upaya kritik membangun yang disampaikan publik. Dalam kasus terkini, Somasi yang dilakukan oleh Susno Duadji jelas merupakan ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat, apalagi somasi diajukan sebagai kritik terhadap kinerja Polri terkait penanganan masalah korupsi yang jadi perhatian besar publik beberapa waktu belakangan ini.

Terakhir, upaya Polri untuk membuka diri terhadap pengaduan masyarakat patut diapresiasi. Meski sekali lagi, hal ini tentu tak cukup jika mekanisme akuntabilitas eksternal tidak dibenahi. Pengawasan dari pihak luar Polri yang independen menjadi signifikan dalam membangun ruang kritik yang konstruktif. Di sini peran Komnas HAM, Kompolnas dan Komisi Ombudsman harus segera ditingkatkan untuk melakukan penyelidikan langsung terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Polri. Kami meminta Komisi III DPR RI juga turut memperhatikan hal ini sebagai bagian dari mandat kerja sebagai wakil rakyat.

Jakarta, 27 Desember 2009

Badan Pekerja,

Indria FernidaA Oslan Purba
Wakil I KoordinatorSekretaris Jenderal Federasi

Lampiran : Data Kekerasan Polisi Oktober – Desember 2009