Penolakan Pelarangan Peredaran Buku Oleh Kejaksaan Agung

Hal       : Penolakan Pelarangan Peredaran Buku Oleh Kejaksaan Agung
Sifat     : Terbuka

Kepada Yang Terhormat,
Bapak Hendarman Supandji
Jaksa Agung Republik Indonesia
Di –
            Tempat

KontraS menyesalkan tindakan Jaksa Agung yang melarang penerbitan dan peredaran 5 buah buku yang dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’, termasuk buku “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”, karya John Roosa pada 23 Desember 2009 lalu, yang telah mendapat pengakuan cukup tinggi dari komunitas akademik tingkat nasional.

Kebebasan berekspresi dalam bentuk tulisan bisa dibatasi oleh Negara, sebagaimana diatur oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 19 dan 20. Namun demikian, pembatasan tersebut tidak boleh bersifat arbitrer dan memiliki berbagai prasyarat. Pembatasan terhadap produk kebebasan berekspresi hanya diperbolehkan bila karya tersebut mempropagandakan kekerasan atau permusuhan yang mengarah pada upaya perang, atau yang berbasis kebencian ras, etnik, kebangsaan, agama, atau sikap xenophobia. Pembatasan serupa juga diperbolehkan atas dasar melindungi hak orang lain, keamanan nasional dan publik,  kesehatan, dan moralitas publik berdasarkan prinsip  yang demokratis.

Kontras menilai buku ini merupakan karya yang bersifat ilmiah. Buku ini telah dua tahun didistribusikan dan tidak terdapat gangguan terhadap ketertiban publik. Meskipun harus diakui bahwa sebuah studi ilmiah memang seringkali mengejutkan, namun kontribusinya sangat berharga untuk demokratisasi dan peradaban bangsa ini, khususnya sebagai koreksi atas kesalahan masa lalu. Pelarangan ini merupakan ejekan terhadap klaim sistem demokrasi yang semakin matang di negeri ini.

Kejaksaan Agung masih menggunakan paradigma lama rezim otoriter dalam melihat karya intelektual; anti kritik, serta tidak membuka diri terhadap fakta sejarah yang lain. Penggunaan UU No. 4/PNPS/1963 tentang  Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan pembentukan Lembaga Pengawasan Barang Cetakan (diatur dalam Kepja 190/A/JA/3/2003) melalui badan bernama Clearing House yang melibatkan Kepolisian, Badan Intelejen Negara, TNI, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan Nasional sebenarnya telah melampaui kewenangan penilaian atas karya akademik yang bersifat ilmiah.

Semestinya berbagai semangat untuk menguji ulang kebenaran atas fakta sejarah menjadi penting dan harus diapresiasi sebagai salah satu upaya upaya mencari kebenaran. Sebagai bagian dari upaya menguji sejarah tersebut, maka harus dilihat juga secara obyektif peran dari Clearing House dan Kejaksaan Agung itu sendiri sebagai pihak penguji. Otoritas Jaksa Agung melarang buku ini jelas menyalahi prinsip masyarakat yang demokratis karena lembaga ini tidak berkompeten menilai suatu karya ilmiah.  Lebih jauh, peran ini akan berpotensi sebagai alat kekuasaan untuk mengekang usaha masayarakat sipil untuk memunculkan fakta lain dari sebuah peristiwa, seperti dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pelarangan buku ini menjadi contoh bahwa pemerintah secara sistematis masih berupaya menutup-nutupi dan mengingkari setiap informasi yang berkenaan dengan dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Adalah hak setiap orang untuk mendapatkan informasi, terlebih bagi mereka yang menjadi korban dalam perisiwa pelanggaran HAM 1965/1966, sebagaimana diatur dalam prinsip anti impunitas tentang korban untuk mengetahui (right to know).

Kami menilai, pelarangan peredaran sejumlah buku ini telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusia dan kehidupan berdemokrasi. UUD 1945, yaitu: Pasal 28F menyatakan  “Setiap  orang  berhak  untuk  berkomunikasi  dan  memperoleh  informasi untuk  mengembangkan  pribadi  dan  lingkungan  sosialnya,  serta  berhak  untuk mencari,  memperoleh,  memiliki,  menyimpan,  mengolah,  dan  menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” ; dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (SIPOL), Pasal 19, ayat 2 menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya”.

Berdasarkan hal diatas, KontraS mendesak Kejaksaan Agung mencabut pelarangan buku-buku tersebut, sekaligus menghentikan praktek pelarangan peredaran karya-karya intelektual di masa mendatang. Kami juga mendesak pembatalan atas aturan-aturan hukum yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi.

 
Jakarta, 28 Desember  2009
Badan Pekerja,

Haris Azhar
Wakil II Koordinator