REFLEKSI AKHIR TAHUN :TAHUN PRAGMATISME POLITIK KEKUASAAN TAHUN KETIDAKPASTIAN HAM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI, BAHKAN TAHUN AMNESIA HAM

REFLEKSI AKHIR TAHUN
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki
Jakarta, 28 Desember 2009

TAHUN 2009:
TAHUN PRAGMATISME POLITIK KEKUASAAN
TAHUN KETIDAKPASTIAN HAM DAN PEMBERANTASAN KORUPSI, BAHKAN TAHUN AMNESIA HAM

Bukti Kesatu: Mengabaikan Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Tahun 2009 adalah tahun pragmatisme politik, bila menyimak situasi politik Indonesia sepanjang tahun 2009. Kita masih bisa melihat langkah-langkah yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek dari para politisi dan partai politik di negeri ini. Pragmatisme ini kemudian menenggelamkan ketidakpastian hasil perhitungan statistik pemilihan umum. Padahal, soal DPT berakibat hilangnya hak pilih seorang WNI, HAM yang penting karena dijamin konstitusi. Pemilu, masih digunakan sebagai medium untuk melegitimasi kekuasaan.

Padahal, pemilu seharusnya menjadi ajang lima tahunan bagi para partai politik untuk berkompetisi dan berpartisipasi dalam proses pemerintahan yang sehat dan demokratis, memperbanyak perwakilan (massa pendukung) dan memiliki juru kampanye yang handal. Bahkan lebih jauh, rangkaian pemilu untuk memilih dan memperbaharui para anggota legislatif dan eksekutif bertujuan untuk mengingatkan kembali tentang arti penting dari proses penghormatan HAM sebagai wujud perjuangan sehari-hari.

Di masa lampau, pemilu digunakan oleh Orde Baru sebagai alat untuk memberi kesahihan bagi segelintir orang agar tetap bisa melipatgandakan bentuk kekuasaanya, baik dari segi waktu, maupun penguasaan sumber daya. Maka tak heran jika Golkar akan selalu menjadi pemenang rutinnya selama 32 tahun itu. Kondisi ini bisa membuka cakrawala kita akan makna pemilu demokratis dan pemilu otoritarian di masa dulu. Dalam pemilu demokratis, persyaratan utama yang harus terpenuhi adalah kesempatan yang diberikan seluas-luasnya kepada pemilih -yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara Indonesia- untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pergantian kekuasaan. Kondisi ini bisa disederhanakan sebagai wujud kontestasi yang sehat, terbuka dan tentu saja melibatkan seluruh warga negara nyaris dalam setiap prosesnya. Kontroversi kemenangan mutlak Partai Demokrat menimbulkan banyak pertanyaan bagi sebagian orang. Para elit bersitegang dengan mulai melontarkan pernyataan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya pada tataran Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan setumpuk aturan elektoral yang menimbulkan kerancuan.

Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa hak untuk memberikan suara (memilih) dan hak untuk dipilih dalam proses elektoral ini adalah bentuk partisipasi aktif yang bisa dilakukan secara mutual (baca: timbal balik) antara warga negara dengan negara-nya. Negara harus bisa menjamin hak-hak semacam ini terakses oleh orang-orang yang telah terdaftar secara sah untuk memberikan suara (baca: DPT). Fungsi DPT dan hak-hak kewargaan juga mencakup pengertian luas. Mereka yang berada di wilayah pengungsian, para narapidana, orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, dan para lansia juga harus mendapat perlakuan yang sama dalam hal ini; dengan mengedepankan prinsip jaminan atas kesetaraan, persamaan, dan penghormatan atas partisipasi politik yang telah mereka lakukan.

Berkaca dari pengalaman pemilu 2009, pemerintah masih belum menjalankan peranannya dalam menyelesaikan sengketa yang nyaris berbuntut pada pengulangan hasil pemilu nasional. Sikap pasif dan menyerahkan semuanya pada institusi KPU juga bukan merupakan pilihan yang bijak. Sejatinya, pemerintah dalam hal ini presiden dan partai politik yang duduk di DPR harus bertanggung jawab dalam kekisruhan ini dan juga mengevaluasi kelembagaan KPU sebagai institusi negara apakah masih mempertanggungjawabkan kredibilitas dan kemampuannya untuk menjalankan mandat tugas.

Bukti Kedua: Merosotnya Komitmen Penegakan HAM atas Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu 

Tahun 2009 adalah tahun merosotnya komitmen penegakan HAM, khususnya penyelesaian terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kinerja aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung tak berubah, meskipun telah ada rekomendasi DPR dalam kuartal akhir tahun. Proses pemilu legislatif dan eksekutif, masyarakat sipil dihadapkan dengan tampilnya pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia; Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra dan Wiranto dengan Partai Hanura. Kemunculan Gerindra dan Hanura pada kompetisi pemilu 2009 berhasil menggandeng dua partai besar yang selama ini masih memiliki mesin politik dan loyalitas tinggi dari massa pendukungnya, meskipun ini juga dilatarbelakangi oleh keinginan menyaingi SBY, kandidat berlatarbelakang militer, dengan seorang pasangan kandidat berlatarbelakang serupa.

Megawati, simbol dari ketertindasan struktural dan politik Orde Baru dan simbol partai wong cilik (PDIP) mendeklarasikan dirinya maju bersama Prabowo Subianto, sedangkan Jusuf Kalla (Golkar) maju bersama dengan Wiranto. Bentuk kolaborasi ini tentu bisa dikategorikan unik, karena pada tahun 1998 di antara kedua jenderal besar itu timbul perseteruan yang meruncing dan saling mendiskreditkan satu dengan lainnya. Terkait dengan upaya penuntasan kasus masa lalu, kedua jenderal ini juga menolak keras atas langkah yang ingin diambil oleh Komnas HAM dan Panitia Khusus DPR Kasus Orang Hilang terkait dengan proses hukum yang akan ditempuh. Namun sekarang mereka berani untuk berteriak, “HAM rakyat dilanggar, hukum harus ditegakkan.” Posisi ambiguitas tersebut menyebabkan para politisi PDIP gamang untuk mengambil sikap, khususnya dalam menindaklanjuti penuntasan kasus orang hilang medio 1997/1998. Meski pada akhirnya Pansus DPR ini memberikan sinyal kuat dalam empat rekomendasi yang diumumkan kepada publik, khususnya seruan yang diberikan kepada Presiden SBY untuk segera membentuk Pengadilan HAM adhoc.

Mungkin, elit politik lama masih memandang hingar bingar panggung politik dan demokrasi adalah tempat yang aman untuk bersembunyi dari proses pertanggungjawaban apa yang telah terjadi di masa lampau. Mungkin, elit politik lama tersebut juga memandang politik, instrumen demokrasi dan jabatan presiden adalah alat untuk membebaskan diri dan mendapatkan kekebalan hukum dari tuntutan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Beragam kemungkinan ini semakin memperbesar tanda tanya kita tentang masa depan penegakan HAM dan demokrasi di tahun-tahun yang akan datang.
 
Politik elektoral menjadi sorotan utama dari semua pihak di tengah tahun 2009. Melalui pemberitaan media massa, publik bisa mengikuti perkembangan terkini penyelenggaraan pemilu, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat nasional. Namun sayangnya, politik amnesia tidak dipungkiri meruak tatkala Prabowo Subianto dan Wiranto kembali tampil di hadapan publik dan membawa agenda perubahan menuju Indonesia baru. Publik terkesima dan mendadak lupa atas rentetan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi. Di sisi lain, upaya masyarakat sipil untuk membangun blok politik demokratik dengan mengkampanyekan gerakan anti politisi busuk, anti partai busuk hingga gerakan menolak capres dan wapres pelanggar HAM seakan terkubur dengan bentuk kampanye masif dan berhasil menangkap perhatian publik dengan konsep komunikasi politik yang tentu saja lebih baik dan berdana besar itu.

Kondisi ini menjadi catatan bahwa penegakan hak asasi manusia pascapenyelenggaraan pemilu 2009 berpotensi untuk mengalami degradasi. Melihat dari platform partai politik yang berlaga dalam ajang ini, belum ada satupun dari mereka yang terang-terangan, berani dan jelas menyisipkan konsep HAM sebagai bagian dari agenda perubahan nasional di masa depan. Padahal sejatinya, pemilu harus digunakan sebagai momentum untuk mewujudkan hak-hak fundamental terimplementasikan dalam kondisi yang lebih baik, hal-hal seperti keadilan sosial, penjaminan negara terhadap warganya untuk bebas mengakses kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta penegakan hak asasi manusia bisa terwujud sebagaimana mestinya.

Selain itu, pilpres kali ini juga menggunakan metode yang lazimnya digunakan di negara-negara demokratis dalam melihat prospek dan komitmen capres-cawapres di masa depan. Pilihan debat terbuka yang bisa disaksikan oleh seluruh rakyat melalui televisi adalah cara efektif untuk bisa membantu mereka dalam menentukan pilihan. Tak tanggung-tanggung pada putaran pertama debat capres, tema HAM digulirkan sebagai tema penting dan aktual yang harus mendapat respon dari para kandidat presiden tersebut.

HAM dimasukkan dalam tema penutup acara, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Supremasi Hukum”. Moderator, Anies Baswedan memberikan penekanan pada unsur, “Pelanggaran HAM Masa lalu”. Pilihan memasukkan tema HAM merupakan pilihan tepat, strategis dan bijaksana. Mengingat pelanggaran HAM di masa lalu adalah cerminan diri dari proses penegakan HAM saat ini. HAM tidak saja membicarakan persoalan sipil politik, HAM juga merengkuh persoalan-persoalan ekonomi, sosial dan budaya, hingga dalam skup yang lebih detail seperti pembangunan, hak-hak masyarakat adat, hak-hak masyarakat rentan, sumber daya alam, lingkungan, kebebasan berkeyakinan hingga bentuk-bentuk kekerasan terkini yang acap menautkan relasi antara negara, keyakinan dan kebebasan politik.
HAM juga tidak sekadar dibatasi pada proses penegakan, pemajuan dan perlindungan atas hak-hak dasar yang melekat dalam diri seseorang. HAM kini juga menyentuh ranah akuntabilitas dengan menautkan konsepsi HAM dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan supremasi hukum.

Dalam kesempatan itu, SBY memulai dengan menjawab pendekatan rekonsiliasi sebagai medium untuk menjawab tantangan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Meski di sini ia tegaskan bahwa rekonsiliasi adalah sebuah pilihan, karena tidak bisa semua kasus diselesaikan melalui jalan keadilan prosedural. SBY mengambil contoh yang telah dilakukan oleh pemerintahannya melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Timor Leste untuk menuntaskan problem masa lalu, dengan menolak mekanisme Pengadilan internasional yang bisa menyeret para pelaku pelanggaran HAM. Tentu, sesungguhnya pilihan itu disesali oleh banyak pihak terutama para peggiat HAM baik yang berada di Timor Leste maupun di Indonesia. Mengingat upaya pemulihan korban, akses terhadap kebenaran dan akses terhadap keadilan (the rights to truth and justice) tidak juga bisa langsung dirasakan oleh mereka.

Jawaban nyaris serupa bisa kita temui dalam pernyataan yang dilontarkan oleh Jusuf Kalla. Ia mengatakan bahwa sudah seharusnya kita berhenti untuk melihat ke belakang, sebab itu tidak akan bisa membuat membuat perubahan yang lebih baik di masa depan. Sementara Megawati hanya mengamini kedua pernyataan yang disampaikan oleh kompetitornya. Baginya HAM tidak boleh dijadikan alat untuk memuaskan kepentingan individu, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian dari kepentingan bangsa.

Dari ilustrasi di atas, jelas terlihat bahwa baik SBY maupun JK sebagai kandidat incumbent belum mampu juga menjawab persoalan penegakan HAM. Meski SBY mulai menyinggung persoalan rekonsiliasi sebagai upaya terbaik untuk mengakhiri problematika. Sedangkan pernyataan Megawati sendiri membawa ambiguitas tersendiri atas posisi personalnya. Di masa lalu Mega adalah simbol kuat atas represivitas Orde Baru, simbol kaum tertindas, dan juga menjadi simbol perubahan Indonesia baru. Namun Mega terjebak pada retorika moderat yang akhirnya tidak berhasil berhasil mengelaborasi poin penting isu pelanggaran HAM masa lalu. Alhasil  kondisi ini tidak bisa menempatkan Megawati sebagai kandidat berbeda dan layak diperhitungkan.

Bukti Ketiga, Menurunnya Efektifitas dan Kualitas Pemberantasan Korupsi

Tidak bisa dipungkiri penyelenggaraan pemerintahan SBY pada tahun 2009 dipenuhi dengan intrik korupsi yang sedemikian tinggi dan melibatkan banyak nama pejabat publik di dalamnya. Maraknya korupsi yang tidak sebanding dengan praktik pemberantasan adalah kendala nyata yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Belajar dari pengalaman kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan yang melibatkan makelar kasus Artalyta Suryani yang bertolak belakang dengan pengalaman tindak kriminalisasi pejabat publik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit – Chandra dalam rentengan kasus korupsi tingkat tinggi dan menyeret beberapa nama penting di republik ini, kita semakin disadarkan bahwa sebaik apapun sistem hukum yang dirancang tetap akan mengalami kelumpuhan jika dijalankan oleh tangan penguasa dan aparat penegak hukum yang korup.

Pengalaman paling mencolok adalah ketika kekisruhan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak korupsi menjadi bulan-bulanan pemberitaan di media massa. Kekisruhan ini tidak sekadar melibatkan aktor-aktor pinggiran, melainkan dua unsur institusi negara Polri dan KPK terseret dalam pusaran skandal ini. Kasus Bibit-Chandra yang menyedot perhatian publik menjadi batu pengganjal Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB II). Pemerintahan SBY seharusnya sigap dalam merespon kasus yang melibatkan perseteruan institusi-institusi negara yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dalih keengganan untuk mendahului dan mengambil alih wewenang lembaga peradilan yang memiliki otoritas mutlak untuk menilai dan memutuskan apakah bukti-bukti yang dipakai untuk menjerat Bibit – Chandra kuat secara juridis ataupun tidak, tidak bisa dijadikan sandaran untuk mengabaikan skandal besar ini. 

Alih-alih percepatan kemandirian bangsa yang dirancang dalam agenda utama 100 hari kerja justru menemukan banyak batu sandungan ketika pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam menuntaskan kasus tersebut. Sorotan publik kepada institusi Polri dan Kejaksaan Agung pun makin menguat. Publik menilai Polri dan Kejaksaan belum mampu menyelesaikan tugas-tugasnya secara profesional, mandiri, mengedepankan prinsip kepastian hukum, sisi moralitas dan rasa keadilan berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Jika Polri dan Kejaksaan tidak berhasil menemukan bukti yang kuat dan meyakinkan untuk memenjarakan para pejabat publik yang terindikasi terlibat dalam serangkaian tindak pidana korupsi, sudah sepatutnya Polri dan Kejaksaan menghentikan kasus Bibit – Chandra ini. Bayangan preseden buruk akan terus menghantui kinerja KIB II jika kasus Bibit – Chandra dituntaskan dengan pendekatan politik tingkat tinggi dan penyelesaian melalui bentuk pendekatan kompromistis di luar jalur hukum.

Kekisruhan ini sudah seharusnya digunakan pemerintah untuk melakukan revitalisasi sistem, mekanisme, pengawasan aparat di lingkungan kepolisian dan kejaksaan. Penanganan perkara tindak pidana korupsi harus dilakukan secara simultan, berkelanjutan, transparan dan profesional. Tentu pemberantasan korupsi bukan semata-mata dibebankan kepada KPK yang juga harus diikuti dengan pemberdayaan fungsi yang melekat dalam institusi tersebut, namun pemaksimalan unsur kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, BPK, PPATK, dan Bappenas untuk mewujudkan program aksi bersama lintas sektor dan didukung oleh publik luas.

Jakarta, 28 Desember 2009

KOMPAK (Keadilan, Keberanian, Non-Sektarian, Non Partisan dan Anti Kekerasan)

Fadjroel Rahman, Effendi Gazali, Tamrin Amal Tamagola, Usman Hamid, Ray Rangkuti, Saut M. Sinaga, Nia Sjarifudin, Chalid Muhammad, Yudi Latif, Rm. Sandiyawan, KH. Maman Imanul-Haq, Rm. Beni Susetyo, Widodo, dan lain-lain

Disiapkan KontraS untuk Malam Refleksi Akhir Tahun KOMPAK, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK), 28 Desember 2009.