Kejaksaan Agung melanggar Kebebasan berekspresi

Kejaksaan Agung melanggar Kebebasan berekspresi

Dalih Kejaksaan untuk melanggar peredaran buku-buku dengan alasan muatan buku yang dianggap menggangu ketertipan umum merupakan legitimasi yang sesat dan keliru. Dasar hukum pelanggaran buku tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan dan juga mengacu pada Pasal 30 (c) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Agung memiliki tugas dan wewenang untuk salah satunya ialah Dalam bisang ketertiban dan ketentreraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan (c) Pengawasan peredaran barang cetakan.

Kami memandang, Kejaksaan seharusnya hanya “turut” melaksanakan. Kata “turut” berarti bahwa dalam melaksanakan pengawasan Kejaksaan harus berkoordinasi dengan lembaga yang lain termasuk menghormati lembaga peradilan yang menentukan salah tidaknya seseorang. Dengan demikian pengawasan peredaran barang cetakan bukan tugas dan wewenang yang dimiliki Kejaksaan Agung sendiri, yang menjadi seolah-olah Kejaksaan berwenang untuk melarang peredaran buku dan barang cetakan lainnya. Fungsi pengawasan turut serta seharusnya diartikan bahwa Kejaksaan Agung tidak bisa serta merta melarang secara sepihak peredaran barang cetakan. Kejaksaan masih harus menghormati mekanisme hukum lainnya yakni peradilan untuk menentukan sesuatu dianggap melanggar hukum dan ketertipaban umum.

Kami melihat kendatipun kewenangan terdapat dalam Pasal (1) UU No. 4/PNPS/1963, interpretasi atas kertertiban umum dalam konteks ke kinian tidak bisa disamakan dengan konteks ketika UU PNPS lahir saat itu dalam keadaan darurat dan demokrasi terpimpin yang merampas kebebasan berekspresi. Tafsir Ketertiban umum tidak bisa dimonopoli oleh negara sebagai dalih untuk merepresi masyarakatnya. Pembatasan hanya dapat dilakukan apabila menyangkut soal-soal penyebaran kebencian yang justeru membahayakan HAM dan kebebasan kebebasan dasar.

Selain itu, sebagaimana diketahui, penerbitan buku dan publikasi lainnya adalah bagian yang termasuk dalam Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kejaksaan Agung telah membatasi kebebasan untuk berekspresi yang diantaranya Publikasi dan diseminasi informasi termasuk didalamnya akses atas internet dan sensor umum lainnya. Hal yang sama telah pula diadopsi oleh prinsip-prinsip Siracusa pada 1984.

Berdasarkan argumen diatas, jelas perbuatan Kejaksaan Agung selama ini ketika melarang peredaran buku secara sepihak merupakan perbuatan yang melampaui kewenangannya (abusive) dan tentunya perbuatan melawan hukum itu sendiri. Lebih jauh Kejaksaan Agung telah melanggar HAM yakni kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat serta pikiran.

Berdasarkan hal tersebut diatas menyatakan sikap sebagai berikut :

1.Mendesak Kejaksaan untuk mengentikan pelanggaran sepihak atas semua kegiatan publikasi termasuk peredaran buku-buku.
2.Mendesak Pemerintah c.q Presiden untuk mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan dan menindak tegas Jaksa Agung yang telah bekerja sewenang-wenang dan melampaui kewenangannya.

Pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Berekspresi yang juga merupakan somasi terbuka atas kepentingan publik, demokrasi dan pemajuan Hak asasi manusia yang menjadi concern dari Kami selama ini. Karenanya jika pelarangan masih tetap dilanjutkan upaya hukum untuk menuntut Kejaksaan secara hukum terbuka.

Jakarta, 29 Desember 2009

Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Berekspresi