Patrialis Bela Presiden, Buku “Gurita Cikeas” Disebut Provokatif

TEMPO Interaktif, Jakarta – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menilai buku Membongkar Gurita Cikeas provokatif, sehingga perlu dipelajari oleh kementeriannya.

"Dari judulnya saja sudah provokatif," ujar dia dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (30/12).

Judul itu dianggapnya menuding Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melanggar hukum. Menurut dia, buku karangan George J. Aditjondro tersebut tidak menggunakan metodologi ilmiah dan isinya tak dapat dipertanggungjawabkan. "Isinya dikutip sepenggal-sepenggal dari berita online yang tidak komprehensif," ucap Patrialis.

Ia mengatakan penulis tidak mengecek dan mengecek ulang isi buku, sehingga lebih banyak prasangka ketimbang fakta di dalamnya. Dia tak keberatan dibilang membela Presiden. "Pembelaan adalah bagian dari tugas anak buah, apalagi saya tahu beliau nggak salah."

Patrialis mengungkapkan kini kementeriannya juga sedang mengkaji isi 20 judul buku yang menurutnya bersifat provokatif dan memecah belah bangsa.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hafid Abbas menjelaskan, 20 buku itu menggiring pembacanya ke arah disintegrasi negara Indonesia. "Ada sebuah buku yang diluncurkan di gedung PBB di New York, Indonesia dibahas dalam satu bab, dan satu provinsi di Indonesia dibuat bab tersendiri. Seolah-olah ekual, (dianggap) sebuah negara. Ini seperti sebuah upaya provokasi," tutur dia tanpa mau menyebutkan judul buku-buku itu.

Ia berharap kajian bisa selesai tahun depan, dan Badan bisa membuat rekomendasi kepada pihak yang berwenang, antara lain Kejaksaan Agung. Karena beberapa buku yang dikaji bukanlah terbitan luar negeri, mekanisme yang diambil bisa pula melalui jalur bilateral atau multilateral dengan negara penerbitnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid berpendapat Kementerian sebaiknya tak usah meneruskan kajian terhadap buku-buku itu. "Tak usah ikuti langkah Kejaksaan Agung. Tugas Kementerian adalah memajukan Hak Asasi Manusia. Semua orang bebas mengungkapkan pendapatnya, kita terikat konvensi yang menjamin hak sipil dan politik warga negaranya," ujarnya.

Meski kebebasan berekspresi bisa dibatasi negara, ia berpendapat pembatasan harus disertai syarat-syarat dan tak boleh bersifat arbitrer. Pembatasan selayaknya hanya dilakukan jika karya mempropagandakan kekerasan atau permusuhan yang mengarah pada upaya perang, serta berbasis kebencian ras, etnik, dan kebangsaan.