HAM, Skandal Bank Century dan Pelarangan Buku

Oleh : Yoseph Tugio Taher

Kabar Indonesia – Tanggal 10 Desember adalah peringatan Hari Lahirnya Hak Asasi Manusia Se Dunia. Hal ini di tandai dengan dideklarasikannya secara universal pada tanggal 10 Desember 1948, pengakuan tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di dunia. Arti penting dari deklarasi ini adalah bahwa setiap orang yang dilahirkan memiliki hak yang sama dan wajib mendapatkan jaminan atas pemenuhan maupun perlindungan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Selain itu, deklarasi ini juga mengandung arti bahwa setiap Negara di dunia ini juga berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak dasar rakyat tanpa syarat.

Sayangnya, Indonesia yang setelah merdeka menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, baru menerima Deklarasi Hak Asasi Manusia ini pada tahun 1998-yaitu 50 tahun setelah Deklarasi ini dilahirkan- setelah Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan di Indonesia diluluh lantakkan, dihancur leburkan oleh tindakan rezim fasis Suharto yang mengangkangi bumi persada Indonesia selama kurang lebih sepertiga abad lamanya.

Selama Suharto memerintah dengan ‘bedil dan bayonetnya’, tidak satupun yang bisa bersuara mengumandangkan Hak Asasi Manusia. Nilai manusia saat itu tidak ubahnya seperti hewan, terutama kaum yang menjadi lawan politik Suharto, kaum komunis dan pengikut Bung Karno serta golongan progresip lainnya. Siapa yang berani bersuara, penjara tantangannya. Pembunuhan massal, pemerkosaan, penghancuran hak milik, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang merajalela. Para petinggi militer, Sudomo, Sumitro, Kemal Idris, Jasir Hadibroto dan banyak lagi lainnya menyatakan mendapatkan perintah dari Suharto buat menghabisi orang-orang komunis dan pengikut serta pendukung Sukarno. Atas perintah Suharto, tiga juta komunis di bantai oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan 400 orang anak buahnya anggota RPKAD, yang mengharu birukan Jakarta, Jateng, Jatim dan Bali, membantai rakyat yang tak melawan, bahkan yang sudah ditahan yang ratusan ribu jumlahnya, yang istilahnya ‘diamankan’ oleh pemerintah di dalam kamp tahanan, diambil dan dikeluarkan malam hari dari kamp tahanan hanya untuk dibunuh dan dicincang. Duabelas ribu yang dibuang dan diasingkan dan mengalami kerja paksa (rodi) di Pulau Buru, membuka hutan belantara dan merobahnya menjadi ladang padi, yang menyebabkan banyak menelan korban nyawa para tahanan, mati karena kerja paksa dan kurang makan serta penyakit.

Disamping itu, para mahasiswa dan pelajar duta-duta muda bangsa di luarnegeri, dicabut paspor Indonesianya, sehingga mereka menjadi orang yang terbuang, menjadi ‘kaum klayaban’ atau ‘kaum yang terhalang pulang’ ataupun ‘kaum yang dilarang pulang’ karena nasib mereka ibarat penompang kapal yang pecah ditorpedo di tengah lautan hingga mereka terpaksa menggapai kesana kemari mencari pegangan untuk bisa hidup. Begitulah kenyataan Hak Asasi Manusia di bawah kekuasaan fasis otoriter Jenderal Suharto.

Setelah lengsernya Suharto karena aksi kaum muda Indonesia yang menuntut Reformasi pada tahun 1998, kendatipun terlambat 50 tahun setelah Perserikatan Bangsa Bangsa memproklamirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengadopsi dan menyesuaikan antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai yang sudah dianut berkaitan dengan hak asasi manusia, dengan melahirkan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan tonggak sejarah yang strategis di bidang hak asasi manusia di bumi Indonesia.

Setelah itu, masyarakat mulai membuka mata dan berani bicara akan segala pelanggaran HAM di masa lalu, terutama di masa kekuasaan jenderal fasis Suharto. Dan kini, setelah 61 tahun deklarasi universal HAM, kesadaran Hak Asasi Manusia dari masyarakat sudah mengalami kemajuan. Ini dapat dibuktikan dengan perjuangan, peringatan dan demonstrasi menyambut Hari HAM 10 Desember 2009 yang lalu, kendatipun mayoritas rakyat di seluruh dunia, tak ketinggalan di Indonesia, yaitu klas buruh, kaum tani, klas pekerja lainnya serta golongan-golongan rakyat yang menderita dan miskin lainnya tidak juga beranjak dan mendapatkan kemajuan di dalam berbagai aspek kehidupan. Kesemua golongan rakyat tersebut justru jatuh dalam keterbelakangan dan kesengsaraan hidup yang semakin memerihkan hati kita semua.

Hak-hak dasar baik sosial-ekonomi, politik maupun budaya yang seharusnya dijamin dan dilindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya, seluruh hak-hak dasar tersebut dilanggar dan dirampas bahkan terus dicampakkan. Ini dikarenakan "Kesadaran hukum dari pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Penegakan hukum yang dilakukan pemerintah tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Sebaliknya, malah semakin buruk". Begitu penilaian resmi Kontras yang disampaikan Usman Hamid kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/12) dalam peringatan Hari HAM tahun 2009 yang baru lalu.

Pernyatan Ketua Kontras itu memang ada benarnya. Kita lihat saya segala macam hiruk pikuk yang terjadi di bumi Indonesia, berkenaan dengan cicak dan buaya, berkenaan dengan KPK dan Kejagung, berkenaan dengan para elit pemerintahan yang terlibat dalam skandal korupsi besar Bank Century yang sampai kini belum diketahui sampai dimana ujungnya. Nampaknya, bagi elit pemerintah, HAM adalah cuma sekedar lip service, cuma sekedar untuk pidato bukan untuk dilaksanakan.

"Heboh mengenai skandal raksasa Bank Century masih terus berlangsung di seluruh negeri, dan bahkan makin melebar kemana-mana, dan diduga bahwa akhirnya akan menjadi masalah yang dampaknya akan luas sekali di bidang politik, sosial dan ekonomi. Sekarang makin kelihatan bagi banyak orang bahwa kasus Bank Century betul-betul menjadi pendorong atau pemacu terjadinya pergolakan-pergolakan dalam masyarakat dalam berbagai bentuk.

Pergolakan-pergolakan dalam masyarakat, yang antara lain berupa aksi-aksi terus-menerus oleh kalangan muda bangsa (terutama kalangan mahasiswa) di berbagai kota dan daerah, dan perdebatan yang ramai (dalam rapat-rapat, media pers dan televisi) mengenai berbagai soal yang berkaitan dengan skandal Bank Century, merupakan hal yang baik sekali bagi kehidupan bangsa. Oleh karena, perkembangan situasi yang demikian ini merupakan sumbangan besar sekali kepada persiapan-persiapan bagi terjadinya perubahan-perubahan besar di negeri ini.

Skandal Bank Century pada intinya (atau pada dasarnya) adalah manifestasi terpusat dari gabungan kerusakan moral pejabat-pejabat negara dan kebejatan akhlak segala jenis koruptor yang bersekongkol untuk melakukan kejahatan mencuri uang rakyat, dan juga manifestasi dari sistem politik dan ekonomi yang reaksioner, yang anti-rakyat, yang pro-neoliberal, yang pada umumnya adalah warisan Orde Baru dan bertentangan dengan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.

Mengingat makin santernya desas-desus bahwa Presiden SBY diduga terlibat atau ikut bertanggungjawab tentang kasus Bank Century, ditambah lagi dengan munculnya kasus penerbitan buku oleh George Aditjondro « Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Century’ » maka heboh yang lain sedang mencuat lagi dalam pers dan televise". (http://umarsaid.free.fr/)

Dengan banyaknya yang tersangkut dalam skandal Bank Century, maka ada pihak-pihak lain yang mencoba menutupi, mencoba mengalihkan persoalan yang maha besar ini kepersoalan lain, agar rakyat mengalihkankan perhatian, mengalihkan perjuangan dan sorotannya terhadap skandal Bank Century, agar dengan demikian mudah-mudahan para elit yang tersangkut skandal bisa ‘selamat’, melalui taktik smoke-screen yang dilancarkan.

Salah satu pihak yang mencoba mengalihkan perhatian rakyat atas skandal Bank Century ini adalah Kejaksaan Agung . Kita bisa melihat, berlawanan dengan tradisi umat Kristiani yang merayakan Natal se dunia dengan segenap sukaria dan damai sejahtera dengan pertukaran dan pemberian hadiah-hadiah persahabatan dan kasih mesra, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, justru dengan tangan-tangan kotornya, pada 23 Desember 2009 memberikan "hadiah Natal dan Tahun Baru" kepada bangsa Indonesia berupa pelarangan atas buku-buku:

1 — Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, oleh John Roosa.
2 — Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri, oleh Socrates Sofyan Yoman.
3 — Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965, oleh Rhoma Dwi Arya Yuliantri.
4 — Menuju Tuhan, oleh Darmawan
5 — Mengungkap Misteri Keberragaman Agama, oleh Syahrudin Ahmad.

Adapun ‘alasan’ yang dipakai oleh Kejaksaan Agung untuk melarang beredar buku-buku tsb, sbb: "Dianggap menggangu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila"

Benarkah buku-buku tersebut diatas menggangu ketertiban umum dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila?" Kalau boleh kita bertanya, ‘Umum’ yang mana yang tergangu? ‘Bertentangan’ dengan UUD 1945 pasal berapa? "Bertentangan" dengan bab mana dari Pancasila? Dapatkah Kejagung menjelaskan dan memperinci alasan-alasan tersebut sebelum melakukan pelarangan atas buku-buku itu?

Mukadimah UUD 1945 berbunyi: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".

Apakah tindakan Kejagung melarang buku-buku itu tidak MELANGGAR kemerdekaan seseorang, tidak MELANGGAR hak segala bangsa dan tidakkah perbuatan dan tindakan Kejagung itu seperti PENJAJAH yang bertindak dan berlaku atas bangsa dan rakyat Indonesia? Lebih jauh lagi seperti yang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 itu, Apakah tindakan Kejagung itu dilandasi atas dasar PERIKEMANUSIAAN dan PERIKEADILAN? Rasanya tidak! Nah, nampaknya Kejagung sendiri yang telah melanggar Mukaddimah UUD 1945 dan PANCASILA (Perikemanusiaan dan Perikeadilan!) dengan tindakannya melarang buku-buku tersebut.

Itu kalau kita lihat dari segi UUD 1945 dan Pancasila. Bagaimana kalau kita lihat dari Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa 1948 yang telah diadopsi dan diterima oleh Pemerintah RI dalam Tap No.XVII/MPR/1998?

Artikel 19 dari Dekalarasi HAM berbunyi:
"Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat (the right to freedom of opinion and expression); hak ini mencakup kebebasan untuk mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan (to hold opinions without interference) dan kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi dan gagasan (to seek, receive and impart information and ideas), lewat media yang manapun dan tanpa memandang perbatasan Negara".

Dalam hal ini, dimana Kejagung berdiri dalam negara yang telah menerima dan mengadopsi ayat HAM-PBB dan tercantum dalam Tap No.XVII/MPR/1998 itu? Tidakkah Kejagung harus menerima keseluruhan isi Deklarasi HAM PBB termasuk artikel 19 di atas?

Artikel 30 menjelaskan:
"Tidak ada satu pun bagian Deklarasi ini bisa diartikan oleh suatu negara, grup atau perseorangan, sebagai hak untuk melakukan kegiatan apa pun atau melancarkan tindakan apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan semua hak-hak dan kebebasan yang dicantumkan di dalamnya".

Dasar pelarangan oleh Kejagung atas buku tsb. katanya "mengganggu ketertiban umum". Kalau boleh kita bertanya, "umum" yang mana yang dianggap oleh Kejagung terganggu ketertibannya, setelah buku tersebut berada di masyarakat selama 21 bulan?

Apakah bukan sebaliknya, dengan melarang buku-buku tersebut, tidakkah Kejagung sendiri yang mengganggu ketertiban umum, ketertiban masyarakat yang sedang bersatu dengan damai dan antusias dalam membongkar skandar raksasa Bank Century yang mengait tokoh-tokoh elit pemerintahan bahkan mungkin juga tokoh militer dan kejaksaan dengan mencoba menggunakan ‘smoke screen’, mengalihkan persoalan raksasa Bank Century kepada persoalan buku yang telah beredar dengan aman semenjak 25 Maret 2008 tanpa menimbulkan kegaduhan.?

Dengan menggunakan ayat-ayat dan hukum Kolonial untuk memberangus buku-buku tersebut menunjukkan-diakui atau tidak- bahwa sesungguhnya Kejagung masih merupakan alat Kolonialis atau sekurang-kurangnya pro Kolonial, bertindak secara otoriter dan meneruskan praktek-praktek fasis Orba/Suharto.

" Di Republik ini, pelarangan buku adalah cerita lama tentang congkaknya kekuasaan dan hasrat penguasa untuk jadi penafsir tunggal sejarah. Pelarangan buku dengan alasan "mengganggu ketertiban umum" terdengar sangat ironis – kalau tak boleh dibilang konyol – di tengah keinginan rakyat agar aparat hukum membersihkan dirinya dari oknum-oknum koruptor yang membebani Republik ini" begitu tulis Bonnie Triyana, Sejarawan, dalam Koran TEMPO edisi 29 Desember 2009. "Republik ini pun punya sejarah panjang ihwal pembungkaman penulis dan pelarangan buku, sejak zaman kolonial sampai dengan zaman kemerdekaan. Mungkin bukan kebetulan juga kalau alasan yang digunakan penguasa pada setiap masa selalu sama: mengganggu ketertiban umum! Sepertinya dibuat-buat, tapi memang begitulah kenyataanya".

Selanjutnya Bonnie Triyana mengatakan: "Seratus tahun yang akan datang, kelak para sejarawan kebingungan menafsir zaman macam apakah sekarang ini: pers relatif bebas bersuara, tapi seorang ibu diadili gara-gara mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit; demonstrasi bisa dilakukan di mana pun, tapi memutar film (Balibo Five) dilarang; Indonesia diakui sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, namun baru-baru ini ada lima judul buku yang dibreidel Kejaksaan Agung; puluhan koruptor ditangkap KPK tapi buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro tiba-tiba menghilang dari rak di toko.

Salah satu pasal warisan penjajah Belanda tersebut, yakni pasal 207 KUHP, masih tetap digunakan sebagai senjata ampuh membungkam mereka yang kritis terhadap penguasa.

Apakah benar kelima buku itu "mengganggu ketertiban umum"? Ambil contoh buku John Roosa yang sudah diluncurkan di Perpustakaan Nasional, Jakarta pada 25 Maret 2008 lampau. Selama satu tahun sembilan bulan beredar di Indonesia tak satu kerusuhan pun terjadi gara-gara orang membaca buku itu. Lantas ganguan ketertiban umum seperti apa yang dimaksud oleh Kejaksaan Agung?

Melarang buku hanya dilakukan oleh rezim penguasa yang fasis dan otoriteristik. Keputusan Kejaksaan Agung melarang peredaran kelima buku tersebut merupakan tindakan yang tidak tepat.. Ada baiknya Kejaksaan Agung mengikuti perkembangan zaman dan mendengar kehendak rakyat yang tak ingin lagi kembali kepada otoritarianisme ala Orde Baru yang main bredel, main tangkap dan main tuduh seenaknya sendiri zonder nalar." Begitu antara lain tulis sejarawan Bonnie Triyana dalam Koran TEMPO edisi 29 Desember 2009.

Kalau kita mau berpikir secara tenang, sesungguhnya benarlah ucapan Bung Karno kepada Rakyat Indonesia: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Ya, ini disebabkan karena bangsa sendiri berlaku dan bertindak seperti penjajah. Dalam hal ini, Kejagung yang main larang dan bredel, tanpa mau belajar dan melihat sejarah bahwa kini bukanlah lagi zamannya fasis Suharto yang berpegang kepada motto: "tangkap dulu orangnya, alasannya cari belakangan!".

Bung Karno pernah mengatakan: "Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang." (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno). Dan ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, yang baru saja wafat, meninggalkan kita semua bahwa: "Kalau kita ingin supaya masa depan bangsa ini cerah, harus ada keberanian untuk membongkar yang lama, sehingga kita tahu betul peristiwa ini bagaimana sebetulnya, adanya, dan sebagainya"

Nampaknya, inilah justru yang terjadi pada Kejagung. Mereka menutup mata dengan masa lampau, mereka takut melihat kebenaran akan masa lampau yang tidak sesuai menurut keinginan dan versi mereka. Menurut istilah Bung Karno, mereka "melihat masa depan dengan mata buta!". Sifat otoriternya mengharamkan catatan kebenaran sejarah masa lampau yang berlawnan dengan keinginan mereka dan golongannya. Dengan pelarangan buku, sebenarnya Kejagung tidak ingin rakyat menjadi melek dan mengetahui kebenaran tentang sejarah masa lampau. Inilah sebenarnya yang telah terjadi, mengapa mereka melarang buku. Mereka takut dengan kebenaran!.

Sesungguhnyalah, dengan pelarangan buku-buku tersebut, terutama buku "Dalih Pembunuhan Massal-G30S dan Kudeta Suharto" Kejagung sebenarnya telah menggangu ketertiban umum! Larangan Kejagung itu hanyalah akan meningkatkan kesadaran dan perjuangan masyarakat dan aktivis-aktivis pejuang reformasi, demokrasi dan HAM bahwa sebenarnya sisa-sisa kekuatan Orba masih bercokol dibadan-badan pemerintahan, dan perlawanan tegas dan konsisten terhadap mereka tak boleh kendur sedikitpun.

"Mari, bangkit bersama menolak Larangan Buku oleh Kejagung ini.Upaya pelarangan oleh Kejagung ini harus kita jadikan senjata untuk membangun kesadaran rakyat, bahwa rezim kapitalis telah mengorbankan rakyat Indonesia dengan membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemokrasi serta membodohi seluruh rakyat Indonesia.

Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), sebagai penerbit buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto telah melancarkan perlawanan terhadap upaya pelarangan buku tersebut. ISSI telah melepas copyright buku tersebut kepada publik sehingga dapat disebarluaskan kepada media dan masyarakat umum".

Mari kita dukung bersama perjuangan ISSI. Dapatkan segera copy tulisan ‘Dalih Pembunuhan Massal: G30S dan Kudeta Suharto’ untuk dipelajari demi kecerdasan bangsa. (***)