Kemandirian Polri Digugat

Jakarta, Kompas – Dalam seratus hari pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, independensi Kepolisian Negara RI masih menuai gugatan. Kewibawaan Polri kian tergerogoti sebagai dampak dari kuatnya bayang-bayang kepentingan penguasa dan pemodal.

Garis merah kritik tersebut disampaikan baik dari kalangan akademisi, anggota dewan, maupun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Menurut anggota Kompolnas, Novel Ali, soal Polri yang tidak independen dari kepentingan penguasa (pemerintah) dan pemodal tersebut tecermin dari banyaknya keluhan masyarakat di lapisan bawah yang masuk kepada Kompolnas.

”Tidak independennya polisi itu terlihat dari misalnya tindakan oknum polisi di lapangan yang seolah-olah sebagai bodyguard’ pengusaha, terutama keluhan masyarakat di daerah, seperti petani,” kata Novel Ali.

Pengajar Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, juga mengatakan, entitas Polri masih menganut state security, keamanan untuk negara cq pemerintah. Polri belum mencapai apa yang disebut civilian police (polisi sipil) yang berorientasi pada human security, yang selalu berorientasi pada keamanan warga.

”Tak heran, polisi sipil yang mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat kerap tidak lebih sekadar jargon,” kata Bambang.

Dana pemodal

Aspek lain yang digugat adalah kemandirian polisi dari kepentingan pengusaha atau pemodal. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri tidak diatur secara tegas bahwa sumber operasional polisi berasal dari anggaran negara. Celah ini kerap dimanfaatkan polisi untuk menjaring dana dari masyarakat, termasuk pengusaha.

”Itu yang seharusnya tidak bisa dan tidak boleh. Kami (DPR) sudah beri anggaran besar kepada Polri (Rp 23 triliun). Secara umum, UU Polri memang harus direvisi. Presiden harus inisiatif mengajukannya. Ini prioritas karena polisi adalah penegak hukum terdepan yang bersentuhan dengan masyarakat,” kata Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR.

Bambang Widodo menambahkan, tidak mengherankan jika kemudian celah di UU soal sumber dana itu kerap dimanfaatkan bukan hanya untuk kepentingan penegakan hukum, tetapi juga untuk kepentingan pribadi oknum kepolisian. Hal ini lantas menjadi teladan di kepolisian.

Gaya hidup polisi

Akibatnya, tambah Bambang, moral dan etika dalam penegakan hukum terkesampingkan. Nilai-nilai moral hanya menjadi aktivitas privat, seperti aktivitas beribadah. Namun, nilai-nilai itu tidak tecermin dalam ikatan sosial. Kinerja polisi pun tidak berorientasi pada etika.

Kedua hal itu terlihat nyata dari gaya hidup para pejabat di kepolisian. Mobil dan rumah mewah pribadi, perlengkapan gaya hidup yang mentereng, semua tampak mudah disaksikan publik secara luas. ”Sementara, kewibawaan institusinya terus tergerogoti, kepercayaan publik sulit diwujudkan. Orang jadi percaya, hukum hanya untuk orang yang punya duit dan kekuasaan,” ujar Bambang. (SF)