“Membongkar Mafia Hukum dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok”

Membongkar Mafia Hukum dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok

Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc kasus Tanjung Priok 1984 yang berlangsung pada tahun 2003-2005 memunculkan banyak kejanggalan
dalam proses persidangannya dan pada akhirnya pelaku (Pranowo,
Sriyanto, RA Butar Butar, dan Sutrisno Mascung dkk) lolos dari jeratan
hukum. Hal tersebut diantaranya karena ada pencabutan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) di persidangan yang dilakukan oleh para korban yang
sudah melakukan perjanjian damai atau islah dengan pelaku. Terjadi
pemutarbalikan fakta atas peristiwa kekerasan yang sebenarnya terjadi.
Sementara hanya sebagian kecil korban menolak pemberian suap serta
tetap memberikan keterangan sesuai dengan peristiwa sebenarnya.

Kami berharap Satuan Tugas Mafia Hukum yang dibentuk Presiden untuk
memepercepat pemberantasan mafia hukum berkontribusi positif dalam
upaya pembenahan hukum dan HAM di Indonesia. Selain melakukan
koordinasi antar lembaga negara dalam menjalankan tugasnya, Satuan
Tugas Mafia Hukum juga melakukan upaya untuk membuka “keborokan”
aparat atau institusi negara yang selama ini kerap terkuak di publik.
Selain mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan menemukan
adanya perlakuan istimewa terhadap tahanan-tahanan tertentu, Satgas
Mafia Hukum juga membuka pengaduan kepada semua pihak yang menilai
adanya mafia hukum, termasuk korban dari makelar kasus dalam proses
peradilan HAM.

Situasi ini mengingatkan kita pada sebuah proses peradilan HAM di awal
tahun 2000-an. Pengadilan HAM untuk kasus Timor Timur, Tanjung Priok
dan Abepura di Papua telah membebaskan para terdakwanya serta tidak
membuka kebenaran atas peristiwa kejahatan kemanusiaan yang telah
terjadi di negeri ini. Hal ini disebabkan oleh sistem hukum yang tidak
mumpuni untuk menjerat pelaku tindak kejahatan yang luar biasa tersebut. Lemahnya dukungan politik dari negara serta tidak
tersentuhnya para mafia peradilan yang mempengaruhi proses peradilan
HAM.

Adanya “politik uang” sebenarnya tampak jelas dalam sidang kasus
Tanjung Priok yang digelar di pengadilan negeri Jakarta Pusat. Sebelum
persidangan dimulai, terdapat pihak-pihak yang mewakili pelaku atau
militer mengumpulkan para korban untuk memberikan pengarahan. Mereka
dibekali kaos bertuliskan “islah dambaan kami“ dan berupaya untuk
mengganggu proses persidangan. Di akhir persidangan, disinyalir para
korban juga menerima uang dari para makelar kasus tersebut serta
disediakan kendaraan untuk kembali ke rumahnya. Di luar sidang,
pihak-pihak ini memberikan uang, motor dan peluang usaha dengan
permintaan untuk mengubah kesaksian dalam proses persidangan. Bahkan
pihak-pihak ini juga melakukan pendekatan kepada sebagian kecil korban
yang masih konsisten dengan perjuangan serta mengiming-imingi ganti
rugi yang menguntungkan korban. Para pelaku memanfaatkan kondisi sulit
korban Tanjung Priok yang telah hidup bertahun-tahun dalam kondisi
terstigmatisasi, memiliki pendidikan yang rendah serta kesulitan
secara ekonomi.

Kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih belum tersentuh
hukum. Kejaksaan Agung masih melakukan pembiaran terhadap hasil
penyelidikan Komnas HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi di masa lalu. Sebagai upaya untuk membenahi hukum di negeri
ini, maka kami berharap muncul upaya untuk melakukan pembenahan dalam
proses pengadilan HAM. Sejauh mana intervensi para pelaku untuk
mempengaruhi proses persidangan, tanpa ada mekanisme koreksi dari
negara. Kami juga berharap adanya pemulihan: restitusi, rehabilitasi,
dan kompensasi sebagai bagian dari upaya yang tak terpisahkan dari
tanggungjawab negara.

Institusi-insitusi pengawas seperti Komisi Yudisial dan Satuan Tugas
Mafia Hukum mestinya bisa memanfaatkan momentum saat ini untuk juga
menggali adanya penyalahgunaan hukum dalam proses peradilan HAM.
Koreksi, pembenahan proses peradilan HAM dan mendorong adanya
pemulihan dapat diprioritaskan, mengingat penderitaan korban yang
sudah puluhan tahun, termasuk agenda pencegahan munculnya mafia hukum
dalam sistem pengadilan HAM mendatang.

 

Jakarta, 09 Maret 2010

Ikkapri, Kontras, Syarikat