Menyesalkan Kekerasan yang Terjadi di Mahkamah Konstitusi

Menyesalkan Kekerasan yang Terjadi di Mahkamah Konstitusi

Pada hari ini, Rabu, 24 Maret 2010, Pemohon, Kuasa Hukum dan Ahli yang hadir di Mahkamah Konstitusi sehubungan dengan acara sidang pemeriksaan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 menjadi korban kekerasan baik secara verbal maupun fisik.

Ketika rehat siang setelah persidangan diskors, beberapa orang yang terdiri dari Pemohon, Kuasa Hukum dan Ahli, yang pada saat itu sedang berada di kantin MK, mengalami ancaman, hadangan, pukulan dan perampasan barang yang dilakukan oleh sejumlah orang yang memakai atribut FPI dan LPI. [Urutan peristiwa terlampir]

Terkait dengan peristiwa tersebut, pertama-tama kami menyampaikan berterima kasih kepada Mahkamah Konstitusi, khususnya kepada satuan keamanan, yang dengan sigap dan cekatan mengamankan para Pemohon, Kuasa Hukum, dan Ahli. Karena kesiagaannya dan ketegasannya, satuan keamanan berhasil mencegah kekerasan dan kerusakan lebih lanjut.

Namun, apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi tersebut sesungguhnya bukan hanya sekedar kekurangajaran dan pelanggaran yang terang-terangan terhadap hukum dan martabat manusia, namun merupakan sikap yang menunjukkan ketidakmampuan untuk menerima pandangan yang berbeda, sehingga merasa perlu untuk menyerang dan meniadakan yang berbeda.

Kami sesungguhnya tidak rela intoleransi dan kekerasan mendapat tempat di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan ruang terbuka untuk berbincang dan berbeda pendapat, yaitu tempat untuk mengejawantahkan suatu kebebasan yang dijamin di dalam konstitusi itu sendiri.

Meskipun demikian, peristiwa ini menegaskan satu hal, yaitu bahwa bukan perbedaan yang menyebabkan keresahan, kerusuhan dan gangguan ketertiban umum, melainkan sikap yang tidak mampu menerima perbedaan, serta perbuatan kekerasan yang tidak terkendali sebagai wujud dari intoleransi tersebut itulah yang menjadi akar dan sebabnya.

Masyarakat kita sedang krisis, kemajemukan dinafikan, perbedaan dianggap ancaman, dan toleransi menjadi kebutuhan yang mendesak. MK perlu melihat kenyataan ini dengan jeli dan mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan tepat yang menentukan nasib bangsa kita ke depan demi membangun kekuatan masyarakat dan kerukunan umat yang sejati.

Jangan biarkan permusuhan dan kebencian menjadi nilai dominan, pemaksaan diterima sebagai sesuatu yang wajar serta kekerasan seolah dapat dibenarkan.

Jakarta, 24 Maret 2010

TIM ADVOKASI KEBEBASAN AGAMA