Lima LSM Gugat Keppres Pengangkatan Wakil Menteri Pertahanan

TEMPO Interaktif, Jakarta – Lima Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Setara Institute, Perkumpulan Pendidikan Demokrasi (P2D), LBH Jakarta, dan Imparsial, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait Keputusan Presiden tentang pengangkatan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Mereka menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono salah karena mengangkat tentara aktif dalam jabatan politik.

Dalam pasal 47 Undang-Undang no 34 tahun 2004 tentang TNI, tentara tak boleh memegang jabatan politik. Sehingga pengangkatan Sjafrie sebagai wakil menteri dianggap salah, karena merupakan jabatan politik. “Meski dijelaskan (Kementerian Pertahanan), itu bukan jabatan politik, tetap saja, prakteknya kan dilakukan secara politik,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid, Senin (5/4).

Usman menilai, apa yang dijelaskan dengan mengacu pada argumentasi pada Undang-Undang Kementerian Negara bahwa wakil menteri bukan jabatan politik tak masuk akal. “Itu jelas pengangkatan presiden langsung. Ini bukan pengangkatan eselon satu biasa, tapi setara menteri (diangkat presiden),” lanjutnya.

Dia juga menilai, bahwa apa yang dilakukan lima lembaga ini adalah pembelajaran agar presiden tak salah langkah lagi dalam menerapkan hukum. “Kami ingin menunjukkan keseriusan bahwa keputusan presiden itu keliru secara politik,” kata dia.

Soal gugatan yang baru dilayangkan, menurut Usman karena ini adalah langkah alternatif yang mesti diambil, lantaran Presiden Yudhyono tak juga bergerak meneruskan rekomendasi DPR periode lalu tentang pembentukan pengadilan hak asasi manusia ad hoc tentang penculikan aktifis 1999. “Tapi sampai batas waktu masuk gugatan 90 hari, tak juga ada respon presiden dengan pengadilan ham ad hoc,” katanya.

Kelima lembaga ini menilai Sjafrie masih dianggap tahu peristiwa penculikan 1999. Karena, dalam rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang melakukan penyelidikan atas kasus ini, nama bekas Pangdam Jaya itu disebut. Semestinya, Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan pro yustisa agar jelas posisi Sjafrie. “Karena memang dalam rekomendasi Komnas HAM, tak asa status tersangka pada Sjafrie,” katanya.

Usman menyayangkan, saat penyelidikan Komnas, Sjafrie tak memenuhi panggilan Komnas, padahal saksi korban dan keluarganya sudah dipanggil berkali-kali. “Dan mereka datang.” Menurut dia, ini adalah preseden buruk. “Bila belum jadi wakil menteri saja dia sudah begitu, apalagi ketika sudah memegang jabatan setara menteri?”

Dalam kapasitasnya yang strategis, Pangdam Jaya dan Pangkoops Jaya, semestinya Sjafrie minimal tahu ada anak buahnya yang terlibat penculikan. “Sebagai atasan dia wajib menyerahkan mereka pada proses hukum,” kata Usman.

Sebelumnya, malah, sebagai atasan hukum, dia sudah bisa bertindak terhada anak buahnya. “Kemudian melanjutkan ke pengadilan.” Andai itu tak dilakukan, sesuai doktrin tanggung jawab komando Sjafrie, pasal 42 Undang-Undang Pengadilan HAM nomor 26 tahun 2000, “Dikenai tanggung jawab pidana.”

Dengan alasan inilah, gugatan itu didaftarkan. Wakil para penggugat dalam pengajuan ke pengadilan adalah, Usman, Robertus Robert dari P2D, Nurcholish Hidayat dari LBH Jakarta, dan Punky Indarti.

YOPHIANDI