Perlakuan terhadap Tapol Tak Manusiawi


Jakarta, Kompas – Perlakuan terhadap tahanan dan narapidana politik di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan di Papua dinilai tidak manusiawi. Oleh karena itu, pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu memerhatikan kondisi dan perlakuan terhadap tapol.

Hal tersebut diungkapkan Andreas Harsono dari Human Rights Watch kepada pers di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Kamis (22/4). ”Aktivis politik di Papua, Filep Karma, perlu operasi prostat di rumah sakit di Jakarta. Namun, perizinan terhadap Filep belum dikeluarkan oleh pemerintah,” ungkap Andreas Harsono.

Selain itu, menurut Andreas, perlakuan terhadap tapol di Papua cenderung semena-mena oleh petugas di rutan atau LP. Misalnya, ada tapol yang dipukul dengan terali besi.

Kekerasan terhadap tapol di rutan atau LP, menurut Andreas, tidak terlepas dari stigmatisasi terhadap masyarakat di Papua. ”Tapol yang tidak melakukan gerakan bersenjata (nonviolence) tetap dicap sebagai tokoh gerakan separatis,” katanya.

Gereja dituduh separatis

Sementara itu, tokoh masyarakat dari Papua, Pendeta Benny Giay, menilai, aparat negara telah memberikan stigma kepada masyarakat di Papua sebagai kelompok separatis. ”Stigmatisasi begitu kuat yang dilakukan negara. Bahkan, gereja pun disebut-sebut sebagai gereja separatis,” katanya.

Sementara itu, Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen, Rabu (21/4) lalu, mengatakan, dalam dua tahun terakhir tidak ada pejabat TNI di Papua yang mengatakan bahwa Organisasi Papua Merdeka adalah pelaku penembakan. (JOS/FER)

Perlakuan terhadap Tapol Tak Manusiawi

Jakarta, Kompas – Perlakuan terhadap tahanan dan narapidana politik di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan di Papua dinilai tidak manusiawi. Oleh karena itu, pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu memerhatikan kondisi dan perlakuan terhadap tapol.

Hal tersebut diungkapkan Andreas Harsono dari Human Rights Watch kepada pers di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, Kamis (22/4). ”Aktivis politik di Papua, Filep Karma, perlu operasi prostat di rumah sakit di Jakarta. Namun, perizinan terhadap Filep belum dikeluarkan oleh pemerintah,” ungkap Andreas Harsono.

Selain itu, menurut Andreas, perlakuan terhadap tapol di Papua cenderung semena-mena oleh petugas di rutan atau LP. Misalnya, ada tapol yang dipukul dengan terali besi.

Kekerasan terhadap tapol di rutan atau LP, menurut Andreas, tidak terlepas dari stigmatisasi terhadap masyarakat di Papua. ”Tapol yang tidak melakukan gerakan bersenjata (nonviolence) tetap dicap sebagai tokoh gerakan separatis,” katanya.

Gereja dituduh separatis

Sementara itu, tokoh masyarakat dari Papua, Pendeta Benny Giay, menilai, aparat negara telah memberikan stigma kepada masyarakat di Papua sebagai kelompok separatis. ”Stigmatisasi begitu kuat yang dilakukan negara. Bahkan, gereja pun disebut-sebut sebagai gereja separatis,” katanya.

Sementara itu, Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen, Rabu (21/4) lalu, mengatakan, dalam dua tahun terakhir tidak ada pejabat TNI di Papua yang mengatakan bahwa Organisasi Papua Merdeka adalah pelaku penembakan. (JOS/FER)