Kaum Buruh Desak Pembuatan Qanun Ketenagakerjaan

Banda Aceh, (Analisa)

Aksi hari buruh internasional di Banda Aceh berlangsung aman dan damai, meskipun sejak pagi konsentrasi massa mulai tersebar di sejumlah titik dengan pengawalan ketat aparat kepolisian.

Ratusan buruh yang tergabung dalam sejumlah organisasi mendatangi gedung DPRA guna menuntut dan mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera membahas draf qanun ketenagakerjaan versi serikat pekerja/serikat buruh di Aceh.

Tapi, karena aksi dalam rangka peringatan hari buruh internasional itu digelar pada hari libur, maka kalangan buruh ini tak bisa bertemu dengan pimpinan dewan. Terlebih lagi saat ini pimpinan dewan sedang berada di luar Aceh seperti halnya Ketua DPRA yang sedang berada di luar negeri.

“Hari Senin ini kita akan kembali lagi ke DPRA guna menyerahkan draf qanun tenaga kerja bagi Aceh,” tegas Koordinator Aksi, Irwan Abdi kepada, Sabtu (1/5).

Para buruh yang tergabung dalam ASPEK Indonesia, KSPI Aceh, FKUIâ??KSBSI Aceh, FSPTIâ??KSPSI Aceh, SPA, SPKA, SPAM, GAM- GB Aceh, TUCC, Kontras Aceh, koalisi NGO HAM, SMUR, AJI Banda Aceh dan SPPI, juga menolak sistem kerja kontrak karena merupakan bentuk perbudakan modern.

Dalam aksi di gedung dewan itu, para buruh juga menuntut pemerintah dalam mengawasi dan menegakkan peraturan Gubernur No.32 Tahun 2009 tentang UMP (Upah Minimum Provinsi) Aceh 2010, karena masih banyak ditemukan pelanggaran di lapangan.

Sanksi Tegas

Menurut para buruh pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang melanggar peraturan dan menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan partisipasi rakyat (padat karya).

Juga menuntut pemerintah aceh dan DPRA untuk mengawasi dan menindak tegas pemilik modal yang tidak menghargai budaya lokal dan merusak kelestarian lingkungan Aceh.

UMP yang telah ditetapkan untuk Aceh adalah kedua terbanyak setelah Papua Barat, yaitu senilai Rp1,3 juta, tetapi saat ini beberapa perusahaan di Aceh masih upah di bawah Rp1 juta.

“Sekarang masih ada perusahaan yang memberi gaji pekerjanya Rp 800.000 per bulan,” ujar Arnip, Koordinator Trade Union Care Center (TUCC).

Saat ini tercatat jumlah buruh di Aceh sebanyak 1,8 juta dan yang sudah tergabung dalam serikat pekerja hanya 85 ribu orang dalam bidang formal dan informal.

Koordinator Aksi, Irwan Abadi mengatakan, buruh internasional yang merupakan gerakan sosial kaum pekerja, mahasiswa dan rakyat telah menyampaikan aspirasi dan Aceh sebagai daerah yang baru bangkit dari kondisi instabilitas ekonomi, keamanan dan sosial membutuhkan semangat nyata dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Seorang pemimpin profesional dan terpercaya dapat mewujudkan sebuah keadilan dan kesejahteraan rakyat untuk mendapatkan akses publik baik kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan membuka lapangan kerja untuk rakyat.

Untuk mencapai kesejahteraan, kaum pekerja di Aceh telah mengajukan draf qanun ketenagakerjaan kepada Pemerintah Aceh periode 2004/2009.

Irwan menambahkan, dengan tutupnya PT AAF, PT KKA dan PT Humpus di Aceh Utara dan bubarnya puluhan NGO, menyebabkan pengangguran dan kemiskinan di Aceh kinibertambah.

Belum lagi permasalahan perusahaan yang tidak responsif terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan lingkungan di sekitar perusahaan menjadi tercemar.

Karena itu, pemerintah harus segera menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk rakyat dan Pemerintah Aceh serta DPRA diminta untuk mengawasi/ menindak tegas pemilik modal/investor, baik asing maupun domestik yang tidak menghargai budaya lokal dan merusak kelestarian lingkungan di Aceh. (irn)