Usman Hamid, Lebih Arif Saya Terus Berjuang Di Jalanan

Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat periode 2010-2015 telah diumumkan. Anas Urbaningrum, ketua umum menawari sejumlah aktivis untuk bergabung dengan kabinetnya.

Ada yang menerima, ada yang menolak. Mereka yang berse­dia bergabung adalah Ulil Abshar Abdalla, koordinator Ja­ringan Islam Liberal (JIL), dan Rachlan Nasidik, direktur ek­sekutif Imparsial.

Ulil ditempatkan sebagai ke­tua Pusat Pengembangan Stra­tegi dan Kebijakan. Sementara Rachlan menjadi sekretaris De­partemen Pemajuan dan Per­lin­dungan HAM.

Koordinator Kontras, Usman Hamid menolak tawaran Anas.

Padahal, Usman ditawari po­sisi di Departemen HAM, bi­dang yang selama ini dia geluti.

Apa alasan mereka mene­ri­ma ataupun menolak ber­ga­bung? Berikut wawancara Rak­yat Merdeka dengan Usman Hamid dan Ulil Abshar Abdalla.

Nama Anda sudah diplot untuk menjadi pengurus DPP Partai Demokrat periode 2010-2015. Tapi Anda memutuskan mundur. Kenapa?
Ada banyak pertimbangan ke­napa akhirnya saya memu­tuskan untuk tidak bergabung bersama Anas Urbaningrum dalam ke­pe­mim­p­inannya di Partai Demokat untuk lima tahun ke depan. Pa­dahal saya menganggap bahwa tawaran untuk masuk dan berga­bung dalam struktur ke­pe­ngu­rusan baru Partai Demokrat me­ru­pakan momentum baik bagi sa­ya untuk memperluas perjuangan dari LSM ke dunia politik. Na­mun dengan segala pertimbangan dan masukan yang diberikan, saya menganggap belum saatnya saya bergabung atau terjun ke dunia politik. Akan lebih arif, kalau saat ini saya berada di luar sistem partai politik dan terus berjuang di jalanan.

Pihak Anas memastikan Anda akan bergabung. Hanya tinggal menunggu waktu. Tapi di menit-menit terakhir Anda menolak…
Saya tidak pernah mengatakan bah­wa saya akan bergabung de­ngan Demokrat, tetapi saya me­minta waktu untuk mengambil keputusan tepat. Dari awal saya tidak pernah mengiyakan tawaran tersebut. Dan dari awal juga saya tidak pernah langsung menolak tawaran yang diberikan.

Saya akan membantu Anas, ta­pi dari luar. Saya tetap mem­be­ri­kan dukungan kepadanya, tapi sa­ya tetap berada di luar Partai De­mo­krat atau tidak bergabung. Untuk sementara ini saya ingin fo­kus dengan kelahiran anak saya dan persiapan saya ingin sekolah lagi.

Apakah Anda batal berga­bung karena persyaratan yang Anda ajukan tak bisa dipenuhi oleh Anas?
Sama sekali penolakan yang saya sampaikan itu tidak terkait de­ngan bargaining position. Se­jak awal, Anas sudah mem­be­rikan pilihan-pilihan kepada saya kalau mau bergabung di partai­nya. Misalnya, saya ditawari po­sisi jabatan Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum, Departemen Hukum dan Perundangan-un­da­ngan, Departemen HAM, Depar­temen Penegakan HAM. Bahkan Anas menjanjikan bahwa apa yang selama ini saya perjuangkan di Kontras akan bisa saya per­juang­kan juga di Partai De­mo­krat. Namun, bukan itu lagi-lagi yang menjadi pertimbangan saya untuk menerima dan ber­gabung bersama Anas di Partai Demokrat.

Bisa dijelaskan, bagaimana cerita Anas sampai mengajak Anda untuk bergabung?
Awalnya saya mengucapkan ucapan selamat kepada Anas Urbaningrum melalui pesan sing­kat (SMS) atas terpilihnya seba­gai ketua umum Partai Demokrat. Da­ri SMS yang saya kirim, ter­nyata Anas merespons sampai beberapa kali. Kami lalu saling berbalas SMS. Akhirnya saya telepon dia untuk mengatakan lagi bahwa saya menitip agenda perjuangan HAM kepada Anas da­lam kepemimpinannya ke de­pan. Dan respons yang saya da­pat­kan, Anas justru menga­takan bahwa dirinya berharap agar saya yang kelak mem­per­juang­kan masalah HAM dengan bergabung bersama Partai Demokrat.

Saya pikir saat itu Anas ber­can­da terhadap tawaran kepada saya agar bergabung di Demokrat. Tapi berulangkali juga dirinya me­nyatakan bahwa ini me­ru­pa­kan keseriusan. Saya pun me­nyam­paikan kepada Anas untuk meminta waktu dalam memu­tus­kan tawaran tersebut.

Saya ingin keputusan yang akan diambil nanti, apakah me­ne­rima atau tidak merupakan pu­tusan yang lahir dari pertim­bang­an yang matang. Karena itu, saya sampaikan kepada Anas bahwa saya akan berdiskusi dulu dengan keluarga di rumah maupun Kon­tras, rekan-rekan aktivis yang lain, sampai pada senior-senior sa­ya dan orang-orang yang bera­da da­lam perjuangan Kontras.

Siapa saja yang Anda minta pertimbangan?
Saya meminta masukan dan saran kepada teman-teman saya dengan mengirim SMS yang ju­mahnya sekitar 1.000-1.500 SMS. Saya meminta pertim­bang­an kepada teman-teman di dunia akitivis HAM, jaringan ant­i­ko­rup­si, aktivis buruh, aktivis petani dan aktivis lainnya, baik yang berasal dari Jakarta maupun yang ada di luar Jakarta. Saya katakan kepada mereka bahwa saya mem­bu­tuhkan masukan dari semua sa­habat yang ada tentang tawaran dari Partai Demokrat untuk me­min­ta saya bergabung bersama­nya dalam kepengurusan yang baru.

Dan mayoritas respons yang disampaikan terhadap SMS itu adalah dukungan kepada saya untuk menerima tawaran ter­se­but. Karena menganggap bahwa ta­waran ini merupakan kesem­patan yang berharga untuk mem­pe­r­luas perjuangan hak asasi ma­nusia. Selain itu, ada juga teman-te­man saya yang menyarankan agar saya tidak menerima tawar­an tersebut. Di sinilah pergolakan saya terjadi. Hingga akhirnya saya meminta kepada Anas untuk memberikan waktu bagi saya berpikir.

Kalau sebagian besar aktivis men­dukung, kenapa Anda ma­sih pikir-pikir?
Saat itu, memang saya berada dalam titik yang dilematis untuk memutuskan apakah bergabung atau tidak. Bahkan ketika, saya diskusi bersama teman-teman Kontras, kesimpulannya banyak yang mendorong saya untuk ma­suk ke partai politik. Alasannya, ini bukan sebagai pilihan per­sonal melainkan pada pilihan per­timbangan-pertimbangan. Dan malamnya saya langsung ber­te­mu dengan Anas untuk berdiskusi kembali. Kami berbicara banyak hal tentang penegakan hak asasi manusia, memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, menyele­sai­kan kasus-kasus HAM di masa lalu, sampai dengan bagaimana pembaruan partai politik dan sebagainya.

Dari perbincangan itu, saya me­nangkap bahwa Anas memi­li­ki komitmen serius terhadap hal-hal yang kami bicarakan. Se­be­nar­nya, saya sudah ada keinginan untuk bergabung, tapi belum ada keputusan. Makanya saya kata­kan besok siang baru akan ada jawaban dari saya.

Kamis pagi, saya mendapat tele­pon dari beberapa keluarga kor­ban yang selama ini berjuang bersama-sama dengan saya. Mi­sal­nya, Utomo Rahardjo dan Mbak Sipon (istri Wiji Tukul) yang memberikan pandangan bah­wa sebaiknya saya tetap bera­da di luar partai politik. Berga­bung­nya saya ke dalam partai politik lebih merupakan tindakan mengambil saya dari dunia akti­vis HAM dari pada sebuah stra­te­gi bagi kami untuk menugaskan saya dalam partai politik.

Karena hal inilah saya menda­pat­­kan semacam pemahaman kem­bali bahwa saya masih dibu­tuh­kan di Kontras, bukan di parpol. Makanya saya langsung bertemu dengan Anas dan me­nya­takan tidak bisa menerima tawarannya tersebut.

Apakah Anda ragu komitmen Par­tai Demokrat dalam mem­per­juangkan HAM?
Saya tidak pernah meragukan Anas Urbaningrum. Keterbu­ka­an­nya untuk mengajak aktivis yang saat ini masih berada di luar par­pol merupakan terobosan yang sangat berarti dalam oligar­ki parpol yang selama ini hanya dikuasai oleh orang itu-itu saja.

Saya pikir Anas memberi si­nyal yang jelas bahwa dia akan membawa pembaruan di Partai De­mokrat dan saya dukung itu. Apalagi dalam hal HAM, secara garis besar arah perjuangan Kon­tras, menurut Anas tidak akan ber­tentangan dengan garis per­juang­an Partai Demokrat.

Partai Demokrat adalah partai terbesar saat ini. Apakah dengan memutuskan menolak bergabung dengan partai itu, maka Anda tak akan terjun ke dunia politik?
Saya pikir tidak ada yang aba­di, hanya sekarang belum tepat. Karena saya melihat bahwa partai politik merupakan ruang untuk melakukan kebajikan. Jadi kalau sewaktu-waktu saya bergabung, itu bukanlah hal yang mustahil. Hanya sekarang, saya memilih tidak bergabung.

Apa karena yang mena­war­kan bergabung adalah Partai De­mokrat makanya Anda me­nolak. Kalau partai lain bagai­mana?
Yang menawarkan saya bukan hanya Demokrat, melainkan ada beberapa partai lain. Namun saya te­gaskan bahwa saya memang belum siap untuk terjun ke politik.

Nanti, kalau saya sudah siap, kalau ada tawaran kembali dan saya pikir itu bagus, akan saya ambil. Saat ini pilihan yang lebih arif, kalau saya berada di luar partai politik. Karena ini akan menentramkan batin diri saya maupun orang-orang yang saya dampingi selama ini.

Menurut Anda, apakah di ba­wah kepemimpinan Anas, Partai Demokrat bisa mem­per­juang­kan kasus-kasus HAM masa lalu?
Harapan itu masih terbentang. Tinggal bagaimana meman­faat­kan waktu saja. Partai Demokrat adalah partai yang dilahirkan oleh keringat reformasi. Partai yang te­lanjur besar, tetapi belum men­jadi partai yang berideologi se­cara permanen.

Kalau memang banyak aktivis yang bersedia bergabung, itu karena melihat nilai-nilai positif. Dan kalaupun Anas memang mau membongkar kasus-kasus HAM yang terjadi di masa lalu, Demo­krat akan sanggup. Karena me­mang tidak terlalu sulit. Sebab Par­tai Demokrat bukan partai yang lahir di masa lalu. RM