Membangun Lembaga Kajian Pendidikan Independen

Oleh : Jhon Rivel Purba dan Tongam Panggabean

sampai detik ini proses penegakan hak-hak sipil-politik (sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) belum sepenuhnya dinikmati oleh rakyat.

Hal ini karena elite politik di negeri ini masih menjadi pendukung setia status quo. Sehingga proses legislasi (kebijakan) telah dikondisikan untuk semakin melegitimasi kekuasaan mereka.

Di sisi lain, sejak reformasi, gerakan politik rakyat mulai bergairah. Salah satunya adalah kebebasan dalam mengekspresikan sikap kritis. Kemunculan gerakan ekstraparlementer seakan tiada hentinya. Tidak hanya turun ke jalan, perkembangan teknologi pun tidak luput dijadikan sebagai media aspirasi perjuangan rakyat. Seperti gerakan sejuta facebook mendukung KPK dan Prita Mulyasari. Kekuatan sipil lainnya dalam bentuk Non Government Organization (NGO), Organisasi Rakyat (OR) dan Gerakan Pemuda/Mahasiswa Pro-Demokrasi ikut ambil bagian. Kekuatan sipil ini juga menyuarakan kepentingan rakyat tertindas. Di aras nasional ada Kontras, ICW, TURC, PRP, Greenpeace dan lain-lain. Di tingkat lokal (Sumut), tidak ketinggalan dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Di antaranya KSPPM, BAKUMSU, KPS, Lentera, Pesada, Bitra dan lain-lain. Ada yang fokus kepada masyarakat adat, pertanian, buruh industri/ perkebunan, advokasi dan bantuan hukum, nelayan dan keagamaan.

Namun keberadaan lembaga studi/kajian masih sangat minim (mungkin KIPPAS yang masih eksis dalam kajian penerbitan dan pers). Apalagi lembaga yang fokus dalam kajian kritis pendidikan juga masih sangat minim. Padahal permasalahan pendidikan yakni pelanggaran terhadap hak mendapatkan pendidikan yang demokratis masih sangat massif dan masih terus berlanjut. Tentunya butuh perjuangan yang strategis, objektif, militan dan progresif.

Bagaimana pun juga, pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun bangsa yang mandiri, sejahtera dan berintegritas. Kedudukan pendidikan sama halnya dengan kesehatan, pekerjaan, dan tempat tinggal, merupakan hak dasar warga negara yang sifatnya wajib diberikan oleh negara (pemerintah). Pelanggaran terhadap hak pendidikan, sama artinya pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).

Lemahnya keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan dan lemahnya daya dorong masyarakat terhadap proses pemenuhan hak-haknya berupa tawaran konsep mutakhir menyebabkan semakin jauhnya jalan menuju pendidikan yang ilmiah, bermutu, kritis, demokratis dan mengabdi kepada bangsa. Tidak heran lagi jika persoalan-persoalan seperti kebijakan pendidikan, manajemen pendidikan, kesenjangan pendidikan, anggaran, kualitas pendidik, korupsi, kekerasan dalam dunia pendidikan, dan minimnya fasilitas pendidikan, seakan terus mewarnai sistem pendidikan kita.

Seringkali kebijakan dalam dunia pendidikan justru bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan. Pendidikan diserahkan kepada pasar. Konsekuensi logisnya adalah orang miskin akan semakin sulit mengecap pendidikan karena keterbatasan dana. Maka, perlawanan terhadap kemiskinan tak akan berhasil jika anak si miskin tak bisa mengecap pendidikan.

Kebijakan yang paling dekat dan baru berlangsung di depan mata adalah penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang dijadikan patokan kualitas dan penentu kelulusan siswa merupakan kebijakan sesat tak berdasar. Apalagi dalam pengalaman dari tahun ke tahun (sejak 2003), penyelenggaraan UN yang mengeluarkan dana besar ini penuh dengan sandiwara. Kecurangan dipraktekkan di lembaga pendidikan, lembaga pembentuk calon pemimpin bangsa. Itu semua demi kualitas semu di atas kertas.

Regulasi pendidikan kita juga amburadul. Kita lihat saja dari tarik ulur Undang-undang BHP. Perkembangan terbaru adalah pembatalan undang-undang tersebut oleh MK. Memang regulasi tersebut tidak berpihak kepada rakyat tertindas karena mengarahkan kepada komersialisasi pendidikan, lantas pasca pembatalan, adakah jaminan terbukanya akses seluas-luasnya pendidikan bagi rakyat sebagaimana antitesis UU tersebut. Regulasi apalagi yang akan digulirkan dan apa perubahan nyata dari pembatalan undang-undang tersebut saat ini. Tentunya ini menjadi sebuah tanda-tanya besar.

Kemudian kesenjangan pendidikan sungguh nyata. Bisa kita saksikan baik melalui media maupun langsung. Kesenjangan antara wilayah barat dan wilayah timur, antara desa dan kota, dan antara sekolah miskin dan kaya. Kesenjangan ini menyangkut kuantitas dan kualitas tenaga pendidik, fasilitas, dan akses informasi. Makanya, sungguh aneh ketika pemerintah menetapkan UN sebagai penentu kelulusan di seluruh wilayah Indonesia. Jelas kemampuan siswa di pelosok desa jauh berbeda dengan kemampuan siswa di kota-kota besar. Lain halnya dengan masalah anggaran. Hingga hari ini anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen di luar gaji pendidik dari APBN belum terealisasi. Lebih parah lagi dengan ketidaksinkronan anggaran pendidikan di setiap propinsi/daerah. Kontrol terhadap anggaran pendidikan dari APBD yang sangat minim. Padahal konstitusi telah menegaskan hal itu. Hal ini tentu kurangnya komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan anak bangsa.

Kemajuan pendidikan tidak terlepas dari kualitas tenaga pendidik. Memang sudah ada usaha pemerintah meningkatkan kompetensi pendidik misalnya sertifikasi guru. Hanya saja pelaksanaan di lapangan tidak berdampak langsung terhadap kualitas pendidikan kita. Anehnya, banyak guru-guru lebih fokus mengejar sertifikat daripada mengembangkan kompetensinya. Kita juga tak boleh menutup mata, bahwa praktek-praktek korupsi juga merajalela di lembaga pendidikan. Bahkan departemen pendidikan merupakan salah satu departemen terkorup di Indonesia. Pemungutan liar dari siswa hingga penyelewengan anggaran pendidikan telah mencoreng wajah pendidikan kita.

Satu hal yang cukup memprihatinkan ketika di lembaga pendidikan masih terjadi kekerasan. Kekerasan fisik maupun mental. Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, senior, sesama siswa (tawuran), dan lingkungan. Kasus ini semakin mencuat ketika terbongkarnya kasus kekerasan di IPDN yang mengakibatkan kematian. Tersedianya fasilitas pendidikan tentu mempengaruhi proses belajar. Fasilitas tersebut meliputi perpustakaan, laboratorium, ruang kesenian, lapangan olah raga, ruang komputer/internet, dan fasilitas lainnya yang mendukung kreatifitas kaum terdidik. Namun, pada umumnya lembaga pendidikan kita masih minim menyediakan fasilitas yang memadai.

Semua persoalan dalam dunia pendidikan di atas adalah yang tampak ke permukaan sebagai buah dari sistem yang tidak berpihak kepada rakyat. Tanpa ada reformasi total dalam dunia pendidikan, maka wajah pendidikan kita tetap muram. Pemerintah perlu didorong. Salah satu motor pendorongnya adalah lembaga kajian pendidikan yang kritis, mandiri, dan independen. Untuk itu, perlu dibangun lembaga kajian pendidikan yang fokus memperjuangkan pendidikan ilmiah, adil, bermutu, demokratis, dan mengabdi bagi bangsa. ***

Kedua penulis adalah alumnus USU dan aktivis Perhimpunan Suluh Muda (PRISMA) Medan.