Polisi dan Kekerasan (Refleksi Hari Bhayangkara 1 Juli 2010)

MESKIPUN polisi berprestasi dalam mengungkap persoalan terorisme dan kriminalitas bersenjata api di Aceh, namun hal tersebut tidak serta merta mendongkrak citra polisi di tengah masyarakat. Kesan keras dan brutal lebih tampak menonjol dalam menggambarkan pekerjaan polisi.

Penggunaan kekerasan atau kekuatan berlebihan seolah telah menjadi inti dari polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam masyarakat. Tidak selayaknya pemolisian, yang hanya dibolehkan menggunakan kekuatan hanya ketika benar-benar dibutuhkan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan dalam Undang-undang.

Kekerasan tentunya hanya dapat digunakan pada saat-saat menghadapi ancaman tertentu yang membahayakan dirinya dan itupun harus dihadapi secara wajar atau dengan menggunakan alat-alat atau perlengkapan yang seimbang. Dengan kata lain, kekerasan yang digunakan bersifat normatif, bukan kekerasan secara emosional, brutal ataupun kejam.

Dalam hal ini penilaian yang cepat oleh polisi tentang suatu sifat dari sebuah resiko dan sejauhmana ancaman yang terjadi sangat diperlukan, serta bagaimana cara penanganan yang sesuai untuk mengatasinya sambil memastikan agar korban atau kerusakan yang ditimbulkan tetap dapat diminimalisir.

Amnesty International dalam laporannya tahun 2004 tentang standar-standar untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan menyebutkan empat prinsip penting HAM dalam penggunaan kekuatan pada umumnya. Yaitu, proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar dibutuhkan).

Disebutkan juga, Amnesty International tidak menentang penggunaan kekuatan yang sah secara sewajarnya oleh polisi. Namun secara khusus negara dan kepolisian diharuskan untuk terus menerus meninjau kembali masalah etika yang terkait di dalamnya. Khususnya dalam penggunaan senjata api, harus dilihat terlebih dahulu keadaan saat polisi diperbolehkan membawa senjata api, kemudian memastikan senjata api digunakan dengan benar dan menyediakan peringatan yang harus diberikan bila senjata api harus ditembakkan.

Kapolri juga telah mengatur ulang tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1/2009 yang membagi 6 tahapan penggunaan kekuatan, yaitu (1) kekuatan yang memiliki dampak deterent/pencegahan, (2) perintah lisan, (3) kendali tangan kosong lunak, (4) kendali tangan kosong keras, (5) kendali senjata tumpul atau senjata kimia, dan (6) kendali dengan menggunakan senjata api.

Di sini disebutkan penggunaan senjata api hanya dapat dilakukan sebagai usaha terakhir dan dapat digunakan jika diperlukan untuk melindungi diri anggota polisi sendiri, orang sekitar yang tidak bersalah serta untuk memudahkan proses penangkapan. Dan jika diperlukan menembak, tembakan harus diarahkan pada bagian tubuh yang paling sedikit mengakibatkan resiko kematian. Karena penangkapan ditujukan untuk membawa tersangka diadili di pengadilan.

Dalam banyak kondisi, polisi dalam menjalankan tugasnya tidak harus selalu memerlukan menggunakan kekuatan. Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti dalam penangkapan, pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan ketertiban umum.

Praktik penggunaan kekuatan
Kendati sejumlah aturan dan pedoman dalam penggunaan kekuatan telah dimiliki kepolisian dalam rangka menjalankan kewajibannya, tetapi praktik-praktik kekerasan berlebihan masih saja terus terjadi. Dalam catatan KontraS Aceh, sepanjang tahun 2006-2009, setiap tahunnya, kepolisian telah menjadi institusi dominan yang menggunakan cara-cara kekerasan berlebihan dalam menangani permasalahan.

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian terhadap Raden, Juni lalu yang diduga mencuri getah milik PT Satya Agung. Juga peristiwa penembakan yang mengakibatkan luka berat terhadap Muhib Dani, warga Seuneuam, Nagan Raya yang ditembak aparat Brimob yang melakukan pengamanan di PT SPS, akhir April lalu. Pada saat itu, korban diketahui tidak dalam posisi mengancam keselamatan jiwa aparat Brimob dan tidak melakukan perlawanan baik secara fisik maupun dengan senjata tajam.

Demikian juga dengan penanganan kasus terorisme di Aceh, salah satunya penyergapan tersangka teroris di Pegunungan Jalin yang mengakibatkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil. Korban diberondong dalam jarak dekat bersamaan dengan tembakan peringatan. Padahal korban sama sekali tidak membawa senjata apapun.

Belum lagi metode-metode penyiksaan yang dilakukan terhadap para tahanan di kantor-kantor polisi yang ditujukan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan seperti ini seringkali tidak diketahui publik kecuali bila media massa memberitakannya atau pihak keluarga korban membuat pengaduan kepada lembaga-lembaga hukum.

Ironisnya lagi, di balik sejumlah prestasi polisi dalam menangani tindak kriminalitas bersenjata api di Aceh. Polisi seringkali bertindak semena-mena. Hal ini disebabkan adanya justifikasi tanpa proses hukum oleh kepolisian bahwa tersangka adalah pelaku. Diperparah lagi dengan keluarga korban yang tidak berani mengambil langkah advokasi karena merasa malu bahwa anggota keluarganya pelaku kriminal.

Jika polisi masih juga mengandalkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, niscaya kepercayaan terhadap kepolisian akan semakin melemah yang akan berakibat pada sulitnya polisi menegakkan profesionalitas dan supremasi hukum. Efektifitas peran kepolisian sebagai leading actor (aktor penentu) dalam penegakan hukum akan terus diuji sejalan dengan agenda-agenda pengembangan reformasi Polri. Semoga saja perbaikan-perbaikan dalam penggunaan kekuatan oleh kepolisian khususnya Polda Aceh tidak sekedar harapan semu di atas jargon profesionalisme. Selamat ulang tahun.

* Penulis adalah Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.