Muhammadiyah Bisa Jadi Bulan-Bulanan Aktivis HAM

JAKARTA– Setelah NU dipertanyakan karena Wakil Ketum Tanfidziah PBNU-nya adalah pejabat BIN, As’ad Ali, kini giliran ormas agama kedua terbesar, Muhammadiyah, yang jadi sasaran.

Mirip dengan kasus NU, kini yang jadi target adalah Pak Muhdi PR, mantan Deputi V BIN, yang berpotensi menjadi pimpinan Muhammadiyah hasil Muktamar XLVI di Yogyakarta.

Penolakan muncul lantaran masa lalu Muchdi pernah menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan tokoh HAM Munir, kendati dia tidak pernah terbukti dalam sidang peradilan dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi. Kubu penolak Muhdi pun kemudian menggunakan argumen tambahan yaitu Muchdi terlibat penghilangan dan penculikan aktivis masa reformasi.

Pada kasus As’ad, pertanyaan tentang penunjukan dia mudah dijawab. Secara aturan hukum, tidak ada yang dilanggar karena AD/ART PBNU tidak melarang seorang pejabat negara menjadi pengurus.

Apalagi As’ad, konon, akan pensiun pada akhir Mei 2010 yang lalu dan juga fakta bahwa yang bersangkutan adalah orang yang memiliki latar belakang NU. Sebelum menjadi anggota BIN As’ad pernah aktif dalam organisasi seperti IPNU, PMII, dan Ansor.

NU dalam perkembangan saat ini dan ke depan, memang sangat memerlukan figur yang non-parpol tetapi memiliki kapasitas tinggi dalam pemahaman politik serta jejaring sosial pada tataran nasional dan internasional.

“Adalah hak NU untuk memanfaatkan aset yang ada di dalamnya, termasuk sosok As’ad Ali,” ujar pengamat politik President University AS Hikam kepada okezone di Jakarta, Senin (5/7/2010).

Berbeda dengan kasus Pak Muhdi PR, yang tampaknya lebih bernuansa pada sosok pribadi dia ketimbang jabatannya. Kendati secara legal formal keterlibatan Muchdi dalam kasus Munir telah dinyatakan tak terbukti, namun pihak ormas pembela HAM seperti Kontras, Imparsial, tampaknya masih belum puas.

Mereka akan tetap mempersoalkan sosok Pak Muchdi jika dia menjadi Pimpinan tertinggi Muhammadiyah dan hal ini bisa menciptakan ketidaknyamanan terhadap ormas Islam besar ini serta para warganya.

“Bisa jadi dengan jejaring internasional yang dimiliki, para aktivis dan ormas HAM akan membuat Muhammadiyah menjadi bulan-bulanan kritik pada tataran internasional berkaitan dengan isu HAM, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah ormas selama 100 tahun terakhir,” ujar Hikam.

Jika skenario ini benar-benar terjadi, maka dampaknya akan cukup serius bagi kiprah Muhammadiyah dan gerakan Islam di negeri ini pada umumnya yang saat ini justru sedang berhadapan dengan maraknya gerakan radikal dan kekerasan atas nama Islam.

Muhammadiyah tampaknya tidak bisa main-main menghadapi penolakan dari kelompok HAM ini, tetapi pada saat yang sama pihak yang disebut belakangan itu juga tidak berhak untuk memaksakan kehendak mereka dalam urusan internal ormas.

Karenanya harus ada negosiasi dan pembicaraan agar bisa ada solusi yang positif. Sebab jika antagonisme antar ormas Islam dengan ormas HAM terjadi, niscaya akan sangat merugikan perjuangan penegakan HAM sendiri serta kiprah ummat dan gerakan Islam yang memiliki visi kebangsaan dan anti kekerasan seperti Muhammadiyah.

Implikasinya, adalah akan makin melemahnya kekuatan bangsa ini menghadapi berbagai ancaman bagi keamanan dan juga reputasi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang mampu menjadi pilar demokrasi dan HAM.

Kekhawatiran berbagai pihak bahwa hadirnya para (mantan) pejabat intelijen atau militer atau pejabat negara lain dalam ormas Islam adalah sah-sah saja, sejauh hal itu merupakan sebuah sikap yang didukung bukti, bukannya sikap a-priori.

Proses Reformasi memang bukan hal yang bisa dianggap sepele, apalagi taken for granted. Sebab proses tersebut pasti akan membuka berbagai dinamika dan perubahan baru yang tidak saja positif tetapi juga negatif bagi masyarakat. Pengelolaan terhadap dinamika dan perubahan tersebut memerlukan kecanggihan manajeman dan kearifan visi dari para elit organisasi di masyarakat sipil maupun pemerintahan dan parpol.

Jika masalah-masalah yang berpotensi sensitif seperti kasus PBNU dan PP Muhammadiyah ini tidak dicarikan jalan yang tepat, maka akibatnya bisa sangat merugikan reformasi.

Pihak-pihak yang anti terhadap reformasi tentu akan senang dan bergairah untuk ikut memperkeruh situasi dengan berbagai cara. “Targetnya tentu adalah pelemahan kekuatan masyarakat sipil dan kekuatan pro-demokrasi yang saat ini memang sudah menunjukkan kerapuhan dan kehilangan soliditasnya,” tandasnya.(ful)