Korban Pelanggaran HAM Mengadu Nasib Ke PBNU

JAKARTA–MI: Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih saja buram. Namun, upaya para korban dan keluarga korban untuk mencari keadilan atas hak asasinya yang dilanggar, tidak pernah padam. Berbagai cara dan upaya terus mereka lakukan. Pertanyaannya, sampai kapan mereka terus begitu?

Kemarin, Rabu (7/7), sekitar 15 korban pelanggaran HAM mengadu ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. Mereka mengaku telah menunggu penuntasan hukum atas 7 kasus pelanggaran HAM yang diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung sejak dua tahun lalu. Namun, Kejagung sama sekali tidak menindaklanjuti rekoemdasi tersebut.

Tujuh pelanggaran HAM itu antara lain kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, kasus Mei 1998, kasus Semanggi I, Semanggi II, kasus Wamena, kasus Wasior, dan kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.

Keluargan korban kerusuhan Mei 1998, Riyanti Darwin, mengaku telah hilang harapan untuk mengetahui nasib anaknya. Ia menuturkan, pada saat kerusuhan Mei 1998, anaknya, Eten Karyana, pulang dari mengajar. Namun ketika kerusuhan terjadi ia memasuki sebuah gedung yang terbakar. Menurut penuturan beberapa saksi, Eten memasuki gedung itu karena terdapat anak-anak yang terjebak dalam kebakaran. Nasib Eten tak diketahui setelah memasuki gedung tersebut.

Riyanti hanya menerima KTP dan sekotak abu yang diberikan oleh aparat keamanan, beberapa hari setelah kerusuhan. "Saya sudah menunggu lebih dari 10 tahun. Sudah bertanya ke sana ke mari, hingga presiden sudah menjanjikan penuntasan tapi tak ada kejelasan siapa yang melakukan dan bertanggung jawab," ujar wanita berusia 50-an ini sambil tersendu setiap menyebut nama anaknya.

Hal serupa juga terungkap dari Tuti Koto. Anaknya, seorang mahasiswa jurusan Sastra Prancis Universitas Trisakti, Jakarta. Ia mengaku, nasib anaknya tak diketahui setelah penculikan aktivis 1997-1998. "Ia bersama Desmon Mahesa dan Pius Lustrilanang. Namun ketika kedua aktivis tersebut kembali, nasib anaknya tidak diketahui," tuturnya.

Mereka mengadu ke PBNU setelah merasa semua jalan menemui kebuntuan. Aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani sengaja mengawal untuk mengadu ke PBNU. Ia merasa PBNU merupakan organisasi yang memiliki banyak kader yang duduk di pemerintahan.

"Kami berharap para kader NU dapat membawa aspirasi kepada pemerintah. Karena kami ingat, semasa Gus Dur menjabat presiden, ia paling lantang untuk menuntaskan penyelesaian HAM. Dan Gus Dur adalah Nahdliyin," ucapnya.

Rombongan ini disambut oleh Wakil Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf. Ia pun tak dapat menjanjikan sebuah langkah konkrit. Ia hanya menyatakan bahwa akan membawa aspirasi ini kepada rapat pimpinan.

Namun, ia memastikan NU selalu berkomitmen untuk mengedepankan penuntasan masalah HAM. "Saya seorang diri tidak dapat memberikan jawaban secara langsung. Saya akan bawa ke rapat dulu. Tapi saya pastikan komitmen kami tetap. Saya pastikan semua kader kami selalu mengedepankan penuntasan pelanggaran HAM, di institusi manapun mereka menjabat," janji mantan Ketua BK DPR itu. (AO/OL-8)