Kekerasan dalam Demokrasi Kita

KEBEBASAN berbicara, atau demokrasi dalam arti yang lebih luas, memang mengandung risiko di dalamnya. Selalu ada risiko karena tidak semua orang siap menghadapi kebebasan berbicara atau demokrasi. Atau, bisa juga kita menghadapi sekumpulan orang yang pura-pura atau mengaku demokratis dan menghargai keterbukaan, tetapi dalam praktiknya mereka sama sekali belum siap, atau bahkan menolak keterbukaan. Mereka marah jika keterbukaan mengusik kepentingan mereka. Ketika kemarahan sudah tak bisa dikendalikan, mereka melampiaskannya dengan melancarkan tindakan premanisme atau bentuk kekerasan lainnya. Bahkan, tak jarang mereka membunuh atau mengerahkan pembunuh bayaran.

Risiko itu sedang menghantui kita saat ini. Bahkan, risiko itu sudah muncul sejak awal kita melancarkan reformasi. Reformasi menuntut kita melakukan banyak koreksi. Koreksi tak jarang menuntut korban. Mereka yang sadar akan menjadi korban koreksi melakukan perlawanan. Dari perlawanan itulah kita mencatat banyaknya kejahatan dengan modus baru, termasuk pembunuh atau penganiaya bayaran. Risiko yang kita hadapi menjadi bertambah besar jika penegak hukum tidak bersih atau justru menjadi bagian dari kejahatan itu.

Kebenaran atau keadilan terasa menjadi sangat mahal, karena tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Tindak kekerasan yang dialami seorang aktivis ICW (Indonesia Corruption Watch), Kamis (8/7) kemarin, dan majalah Tempo, beberapa hari lalu, menjadi bukti ungkapan tadi. Kita boleh menjadikan dua peristiwa ini sebagai tambahan bukti baru, melengkapi bukti-bukti lain sebelumnya, tentang risiko kebebasan berbicara, atau risiko mencari keadilan. Anda diapresiasi ketika mengungkap sebuah masalah, tetapi pada saat bersamaan Anda berada dalam ancaman kekerasan, entah langsung dari pihak yang merasa dirugikan, atau dari pihak ketiga yang coba mengail di air keruh.

Sepanjang Kamis kemarin, kita menyimak berita penganiayaan yang dialami aktivis ICW, Tama Satrya Langkun. Dia diserang dengan sabetan senjata tajam, sehingga bagian kepalanya mengalami luka serius. Begitu seriusnya sehingga ada 29 jahitan di bagian kepala Tama. Kondisinya segera stabil setelah menjalani perawatan intensif di RS Asri, Duren Tiga, Jaksel. Tama diketahui sering berbicara lantang soal rekening mencurigakan milik sejumlah oknum polisi. Dia juga tercatat sebagai salah satu orang yang melaporkan kasus rekening itu ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan KPK.

Sebelum peristiwa penganiayaan Tama, majalah Tempo diancam dengan bom molotov. Kebetulan Tempo-lah yang menyajikan laporan mendalam tentang kasus rekening itu. Otomatis muncul pertanyaan, apakah penganiayaan terhadap Tama dan ancaman bom untuk Tempo berkaitan satu sama lain karena alasan yang sama? Tentu, untuk mencegah kesimpangsiuran, kita menunggu hasil penyelidikan pihak berwajib. Tetapi, dugaan ICW bahwa pembacokan terhadap Tama masih berkait dengan teror bom molotov di kantor Tempo, patut dipertimbangkan sebagai masukan kepada pihak berwajib.

Namun, kita sepakat dengan argumen dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) yang meminta polisi mengusut tuntas peristiwa pembacokan Tama. Penangkapan pelaku akan membersihkan citra kepolisian. Polisi harus bisa menguak motif sebenarnya. Kalau kasus Tama dan ancaman kepada Tempo tidak tuntas terungkap, demokrasi kita dibayangi kegagalan.

Peristiwa penganiayaan terhadap Tama maupun kasus ancaman terhadap Tempo adalah berita yang langsung tersebar luas di mancanegara. Para penggiat kebenaran dan keadilan menanggapi dua kasus ini dengan sangat serius. Berarti, citra demokrasi kita sedang dipertaruhkan.***