Embargo Kopassus dan Akuntabilitas

HAM Amerika Serikat mencabut embargo militer untuk Kopassus. Menteri Pertahanan AS Robert Gates menyampaikan hal itu seusai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, Kamis, 23 Juli.

Gates memastikan bahwa kebijakan ini dilaksanakan bertahap, berjalan dalam batas hukum AS, serta tak mengesampingkan pentingnya hak asasi manusia (HAM) dan akuntabilitas. Kunjungan Gates ke Jakarta tak bisa dipisahkan dari kunjungan Komandan Komando Operasi Khusus Pasifik AS Rear Admiral Sean Pybus yang sempat menyatakan AS segera memberikan bantuan penuh ke Kopassus. Sehari setelahnya, Kedubes AS sempat mengklarifikasi dan menyatakan tidak benar laporan pers atas pernyataan Pykes, lalu mengklarifikasi bahwa Pemerintah AS masih mengkaji dan belum memutuskan kerja sama itu dilakukan segera (21/5). Ini mungkin karena memang belum jelas bagaimana keputusan akhir AS.

Kini jelas bahwa kerja sama dimulai kembali, tetapi tidak penuh. Batasannya adalah HAM dan akuntabilitas. Batasan itu setidaknya mencakup tiga hal, yaitu memindahkan orang-orang yang terimplikasi kasus pelanggaran HAM tapi memegang jabatan di Kopassus. Kedua, menuntut mereka yang terlibat kasus pelanggaran HAM di pengadilan. Ketiga, memastikan bahwa setiap anggota militer tunduk di bawah kewenangan peradilan umum, sama seperti warga sipil biasa. Beberapa waktu sebelumnya, pers juga memberitakan lobi Danjen Kopassus Mayjen Lodewijk Paulus di Washington DC. Tujuannya, meminta Pemerintah Negeri Paman Sam itu memberi bantuan kepada Kopassus.

Meski pembicaraan Kopassus dan Komando Operasi Khusus AS bersifat informal, ini bukan yang pertama. Sejak lama, pejabat Indonesia terus melobi dan menemukan peluangnya di era Bush, tepatnya saat embargo militer 1996 dicabut pada 2005. Konferensi Usindo, 16–17 April 2009, juga merekomendasi pemulihan bantuan, dengan syarat Indonesia mengumumkan anggota TNI yang melanggar HAM dan mengadilinya. Lobi politik seperti Kopassus pernah dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2005, melalui perusahaan jasa lobi AS bernama Collins and Co.

Entah apa targetnya, lobi teregistrasi membahas kasus Munir dan Papua.Tim Rieser, staf senior Senator Leahy, menyampaikan keheranannya kepada penulis saat bertemu kalangan Kongres. Tentu bukan semata siapa yang melobi. Keberhasilan lobi memerlukan totalitas diplomasi kementerian-kementerian terkait yang berbasis pada keselarasan kondisi riil dalam negeri. Saat itu, belum ada kata setuju dari Kementerian Pertahanan, Gedung Putih, dan Kongres AS. Sandungannya adalah syarat HAM. Di bawah kepemimpinan Clinton dan Obama, AS memang mensyaratkan HAM dalam bantuan luar negeri. Pemberlakuan embargo militer pun dilakukan melalui undang-undang yang dikenal sebagai undang-undang Leahy, yakni mengenai bantuan militer luar negeri dan pelanggaran HAM.

Impunitas

Dalam suratnya tertanggal 13 Mei, kepada Menlu Hillary Clinton dan Menhan Robert Gates, legislator- legislator Kongres AS baik dari kubu Demokrat maupun Republik mendesak pengakhiran impunitas dan meminta kejelasan apa yang diminta sebagai syarat bantuan penuh militer Indonesia. Kongres AS tetap memandang bahwa penerapan model akuntabilitas terhadap kejahatan serius masa lalu di Indonesia melalui mekanisme vetting penting untuk dilakukan.

Vetting sering diterjemahkan sebagai suatu proses penilaian integritas seseorang untuk menentukan kelayakan mereka untuk melanjutkan jabatan atau mereka yang punya prospek dalam jabatan-jabatan publik berdasarkan prinsip-prinsip supremasi hukum dan HAM. Semangat mekanisme ini sebenarnya telah ada dalam sejumlah peraturan perundangan kita, hanya tak diterapkan serius. Surat ini muncul pascadebat pemulihan sisa larangan bantuan militer AS ke Indonesia. Kubu penolak bantuan tanpa syarat dimotori Senator Patrick Leahy. Dia memahami perubahan TNI, persoalannya, perihal Indonesia belum melaksanakan janjinya untuk mengadili pelanggar berat HAM dalam kasus Santa Cruz, Timor-Timur (1991) dan pelanggaran berat HAM di Indonesia (legacy constraint).

Kubu pendukung meyakinkan Kopassus telah berubah dengan mengatakan bahwa Kopassus Indonesia 2010 bukan Kopassus 1991, bukan Kopassus Soeharto (this is not Soeharto’s Indonesia, this is not Soeharto’s TNI). Selama ini, mereka yang melanggar HAM tak pernah diperiksa atau jika diperiksa, ditetapkan sebagai tersangka, diadili, tapi tak pernah ditahan.Bahkan setelah divonis bersalah pun tetap bebas beraktivitas dan sebaliknya mendapat promosi jabatan-jabatan strategis dari komandan-komandan distrik, batalion hingga komando utama fungsional. Inilah situasi impunitas, absennya penghukuman. Kalaupun ada, paling-paling sebatas mutasi tugas/ jabatan.

Yang terbaru, Danjen Kopassus memutasi Kolonel Hartomo dan Letkol Untung Budiharto dengan alasan agar ada “perspektif baru” (15/3). Terkesan jelas bahwa ini merupakan bagian dari strategi meyakinkan AS mengingat pada 2003, Kolonel Hartomo divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Theys Elluay. Begitu pula Letkol Untung Budi Harto. Eks anggota Tim Mawar Kopassus itu divonis bersalah atas kasus penculikan aktivis oleh Mahkamah Militer. Bisa juga ini kelanjutan peringatan yang disampaikan Presiden SBY di markas Kopassus, yaitu agar kasus Munir, kasus penculikan aktivis, dan penembakan misterius tidak terulang lagi (2009).

Pesan terbuka ini bagus. Namun kredibilitasnya masih ditentukan oleh tindak lanjut rekomendasi DPR soal pengadilan HAM ad hoc untuk penculikan aktivis 1997–1998, pencarian 13 yang masih hilang, reparasi korban dan ratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa.

Kontrol sipil

Selama tak dituntaskan,“masa lalu” akan menjadi “sekarang”. Absennya pertanggungjawaban mengakibatkan ketidakadilan bagi korban, juga absennya efek jera bagi anggota maupun mantan anggota Kopassus seperti dalam pembunuhan Munir. Kita sering puas dengan mengatakan bahwa pelanggaran HAM adalah cerita masa lalu. Padahal kasus-kasus tersebut terjadi di era Reformasi. Selain Munir (2004) dan Theys (2001), masih ada kasus Wamena (2001) hingga kasus pembunuhan politik selama Pemilu Aceh (2009).

Kongres AS meminta penerapan HAM dan akuntabilitas melalui mekanisme vetting sehingga pelatihan diberikan bagi individu Kopassus yang bersih. Ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan Gates. Ini bagus, tapi tak cukup. Sebab pelanggaran HAM berat berdimensi doktrin, kebijakan, dan praktik institusional, bukan otonomi personal seorang tentara. Karenanya, seperti dikatakan Gates, persetujuan bantuan AS tetap diletakkan dalam batas hukum AS. Di titik ini, undang-undang Leahy tetap bisa digunakan sebagai patokan normatif.

Pertama, mereka yang terlibat kasus pelanggaran HAM disyaratkan tak menduduki jabatan komando lagi atau dikeluarkan dari dinas Kopassus. Kedua, melaksanakan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat. Hal ini kurang lebih telah mulai ditampakkan dalam contoh kasus pencopotan dua perwira di atas. Ke depan, kelihatannya akan bertambah deretan nama yang mengalami hal serupa. Ketiga, meletakkan pelanggaran militer terhadap tindak pidana umum dan pelanggaran HAM dalam yurisdiksi peradilan umum.

Di titik ini, revisi UU Pengadilan Militer harus segera dituntaskan. DPR periode yang lalu mengambil inisiatif untuk membahasnya, tapi karena pemerintah bersikeras agar tetap penyidik militer yang menangani kasus yang melibatkan militer, pembahasan mengalami kebuntuan. Pada akhirnya, semua hal di atas merupakan hal-hal yang prinsipil yang harus kita laksanakan. Tentu bukan semata kita ingin Kopassus memperoleh bantuan penuh dari AS, melainkan karena kita menyadari pentingnya akuntabilitas HAM agar tercipta keadilan bagi korban pelanggaran HAM.

Tanpa kemampuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip itu, sesungguhnya kita belum mengubah persoalan mendasar dari reformasi militer, yaitu mendisiplinkan diri dengan hukum sendiri.(*)

Usman Hamid
Koordinator Kontras